Oleh : Laurens Minipko

BEBERAPA waktu lalu, sebuah foto menyebar lewat media. Seorang perempuan Papua berdiri di ruang publik, membawa selembar kertas bertuliskan
“Kami LAWAN Diskriminasi dan Nepotisme di Kabupaten MImika”.

Sekilas tampak seperti poster biasa. Tapi jika kita berhenti sejenak dan membacanya dengan nalar yang tajam, poster ini bisa dibaca sebagai teks perlawanan, sebagai tubuh yang bicara, bahkan sebagai teori sosial yang hidup.

Tubuh yang benjadi bahasa: Teori dari Jalanan

Dalam dunia ilmu sosial, Judith Butler pernah menyatakan bahwa tubuh bukan sekadar objek pasif, tapi aktor politik yang bisa melakukan tindakan melalui keberadaannya. Ketika perempuan Papua berdiri sambil mengangkat poster itu, ia sedang melakukan yang disebut Butler sebagai “performance of dissent”, penampilan tubuh sebagai bentuk kritik.

Sementara itu, bell hooks (feminis kilit hitam dari Amerika) menulis bahwa perempuan dari ras dan kelas tertindas tidak hanya membawa luka, tapi juga memiliki kekuatan untuk menamai luka itu dan melawannya. Dan itulah yang divisualisasikan oleh perempuan Papua. Tulisan tangan di atas kertas putih itu adalah tindakan epistemik, yaitu upaya merebut kembali hak untuk menafsirkan kenyataan sosial.

Nepotisme: Kekerasan yang tidak diakui

Kita sering berpikir kekerasan itu hanya soal pukulan, senjata, atau konflik. Tapi Gayatri Spivak mengingatkan bahwa ada bentuk kekerasan lain yag lebih halus. Kekerasan epistemik, yaitu kekerasan yang terjadi ketika suara tertentu dihapus , ditertawakan, atau tidak dianggap penting.