Oleh : Laurens Minipko (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

Pendahuluan

PARA pembaca yang budiman, pada tiga bagian tulisan sebelumnya, penulis sudah sajikan selayang pandang jejak kebijakan Otonomi Daerah dan APBD mulai dari masa Pemerintahan Kolonial Belanda sampai Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi pilar hukum kebijakan otonomi daerah dirumuskan dan dilaksanakan (30 tahun).

”MTQ

Meskipun kebijakan otonomi daerah terumuskan secara tegas namun implementasinya sangat berwatak sentralistis. Pemerintah pusat mengendalikan penuh urusan daerah, baik secara politik, administratif, maupun keuangan dibandingkan pemberdayaan daerah secara mandiri.

Roh kebijakan otonomi daerah itu mewujud dalam beberapa aspek, semisal struktur pemerintahan, dimana gubernur adalah wakil pusat; Bupati/Walikota dipililh oleh DPRD tapi direstui Mendagri. Pada bidang keuangan daerah DAU dan dana pembangunan dari pusat tidak fleksibel digunakan. Dalam hal regulasi daerah, semua Perda harus disetujui pusat, tidak boleh bertentangan dengan program Pembangunan nasional. Semua program perencanaan pembangunan daerah harus patuh taat pada program REPELITA.

Pada bagian terakhir tulisan ini, penulis akan menyajikan potret jejak kebijakan otonomi daerah dan APBD dalam fase Reformasi yang dimulai setelah Presiden Soeharto lengser. Tema sentral dalam fase ini adalah desentralisasi.

Wajah Desentralisai dalam Rahim Reformasi

Reformasi 1998 bukan hanya peralilhan kekuasaan politik dari Soeharto ke Habibie tetapi juga menjadi tonggak dimulainya pergeseran struktur negara dari sentralistik ke desentralistik. Tonggak itu dimulai pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah.
UU 22 memperkenalkan model otonomi luas untuk kabupaten/kota (bukan provinsi), yang membuat banyak daerah ‘menentukan arah sendiri’ tanpa terlalu banyak intervensi pusat. UU ini merupakan salah satu produk hukum paling progresif pasca kejatuhan Orde Baru. Ia lahir dari semangat desentralisasi total yang dipicu oleh keinginan kuat untuk menghapus warisan sentralisme birokrasi Jakarta, yang selama lebih dari tiga dekade mengekang kemandirian daerah. Salah satu tonggak penting dalam UU ini tertuang dalam Pasal 7 ayat (10) yang menegaskan bahwa: “Daerah berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal ini menandai pergeseran paradigma kewenangan, dari sebelumnya berbasis asas dekonsentrasi daerah menjadi otonomi nyata yang memberi ruang kepada daerah untuk merancang kebijakan sendiri sesuai kebutuhan lokal. Kabupaten dan kota diberi posisi utama sebagai motor otonomi, sementara provinsi lebih bertindak sebagai fasilitator dan pengawas. Pasal-pasal lain yang memberi bobot identitas UU ini dapat dilihat pada pasal 11, 18, 19-20. Namun di balik euforia tersebut, pelaksanaan UU 22/1999 menimbulkan berbagai tantangan, seperti pemekaran daerah tanpa kontrol, lemahnya kapasitas manajemen publik di daerah, serta politik lokal yang belum dewasa.

Sistem pembiayaan daerah dalam UU No. 25 merupakan langkah awal Indonesia untuk meletakkan fondasi desentralisasi fiskal di era Reformasi. Dalam UU ini, pemerintah merancang tiga skema utama: 1. Pasal 6 mengatur Dana Bagi Hasil (DBH), yaitu pembagian penerimaan negara dari pajak dan sumber daya alam kepada daerah. Ini menjadi bentuk pengakuan atas kontribusi daerah terhadap penerimaan nasional dari sektor utama tambang, migas, dan kehutanan.

2. Pasal 7 memperkenalkan Dana ALokasi Umum sebagai blok anggaran yang dialokasikan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri neto dalam APBN. Tujuannya mendukung pemerataan kemampuan keuangan daerah.

3. Pasal 8 tentang Dana Alokasi Khusus, diformatkan untuk membantu pendanaan kegiatan yang bersifat prioritas nasional. Ketiga jenis dana tersebut menjadi kerangka awal arsitektur fiskal desentralisasi.

Penataan Ulang Otonomi dan Keuangan Daerah