UMAT Katolik sedunia saat ini tengah menyiapkan diri memasuki masa puasa yang akan diawali dengan perayaan ekaristi Rabu Abu pada tanggal 5 Maret 2025.

Pada Hari Rabu Abu setiap dahi umat Katolik mulai dari bayi, anak-anak, remaja hingga orang tua akan diberikan tanda abu. Abu ini berasal dari sisa bakar daun palma yang sudah diberkati pada misa Minggu Palma tahun sebelumnya. Abu ini diberikan oleh imam, suster, frater, bruder. Pada saat imam memberikan tanda salib abu di dahi sambil mengungkapkan ‘bertobatlah dan percaya kepada Kristus’. Umat menjawab amin.

Dalam abad pertengahan, gereja telah menggunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah. Arti dari Rabu Abu bagi umat Katolik sebagai pengingat akan ketidakabadian dan penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan.

Makna Rabu Abu dalam Gereja Katolik sebagai simbol penebusan dosa yang dijadikan sakramental dengan restu Gereja. Abu juga membantu manusia dalam meningkatkan semangat kerendahan hati dan pengorbanan. Selain tanda pertobatan, Rabu Abu menandakan awal masa pantang dan puasa selama 40 hari sebelum Paskah.

Untuk umat Katolik di wilayah Keuskupan Timika selama masa tobat 40 hari kedepan akan melaksanakan Aksi Puasa Pembangunan (APP). Materi APP yang disiapkan Tim Penyusun Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Timika. Tema utama yang akan direfleksikan atau pendalaman iman selama masa Prapaskah 2025 tentang ‘Pertobatan Ekologis’.

Pertobatan ekologis berarti memperlakukan dan memandang semua entitas dalam alam semesta sebagai suatu persekutuan universal. Atau Pertobatan ekologis berarti memandang alam sebagai tanda kehadiran Allah di dunia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indomesia (KBBI) menjelaskan eko·lo·gis /ékologis/ bersifat ekologi: penggunaan pestisida secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan dampak.

Dalam tema utama ini dibagi kedalam lima sub tema penting untuk direnungkan umat selama lima pekan.

Pertama, Pertobatan ekologis memulihkan keutuhan ciptaan.

Kedua, Pertobatan ekologis awal adaptasi perubahan iklim.

Ketiga, Mengasihi tanah, mengasihi awal penciptaan, merawat sumber-sumber air.

Keempat, Mengasihi sumber kehidupan.

Kelima, Kesuburan tanah dan ketersediaan air membuahkan nafas hidup.

Masa Prapaskah kembali mengundang kita umat beriman untuk berhenti sejenak mempersiapkan diri menyambut sukacita Paskah. Sukacita menjadi lengkap karena kita diajak merefleksikan tema Aksi Puasa Pembangunan (APP) tahun 2025, dengan tema utama PERTOBATAN EKOLOGIS. Melalui tema ini gereja berupaya membangun sebuah gerakan bersama di dalam kepedulian dan perlindungan terhadap bumi sebagai rumah kita bersama yang semakin hari semakin memprihatinkan kondisinya.

Tema kali ini semakin menarik karena berkaitan dengan tahun Yobel, Peziarah Pengharapan. Semangat peziarah ini juga mengajak kita semua untuk merawat bumi tempat dimana kita berziarah menuju pintu suci Yerusalem surgawi.

Melalui pendalaman APP selama 40 hari – masa tobat, diharapkan dapat terbentuk penghayatan pertobatan yang tampak dari dalam diri adalah pertobatan yang tidak sekedar menyesal dan merasa berdosa, melainkan sebuah pertobatan yang mampu memberikan kontribusi untuk memperbiki keadaan dan lingkungan sekitar.

Semoga dengan tema tersebut, kita dibantu untuk menumbuhkan semangat pertobatan secara terus menerus. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan dalam rangka masa prapaskah ini wajib diisi pula dengan doa, puasa.

Pada pertemuan pertama umat akan bergumul dengan subtema ‘PERTOBATAN EKOLOGIS MEMULIHKAN KEUTUHAN CIPTAAN’.

Dengan merefleksikan tema ini bertujuan meningkatkan kesadaran bahwa bumi dan segala isinya yang merupakan karya penciptaan Allah, yang dianugerahkan kepada manusia secara cuma-cuma adalah anugerah terindah yang harus dijaga bukan dihancurkan.

Kecerobohan manusia di setiap zamannya membuat bumi semakin rusak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah gerakan pertobatan ekologis sebagai sebuah harapan.

Perlu diketahui keadaan rusaknya lingkungan dan bumi sebagai rumah kita sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan, melainkan karena dosa yang mewujud pada keserakahan dan keegoisan akut manusia.

Manusia melawan Tuhan; manusia tidak taat pada perintah Tuhan, bumi yang disediakan Allah untuk kehidupan seluruh generasi umat manusia dieksploitasi dengan serampangan di setiap zamannya, tanpa memikirkan kehidupan di masa-masa mendatang.

Saat ini, eksploitasi sumber-sumber kehidupan rasanya amat tergesa-gesa dan serba cepat dilakukan kebanyakan orang.

Dalam ensikliknya, Laudato Si, Paus Fransiskus menanggapi situasi rusaknya alam ciptaan dengan mengemukakan bahwa krisis spiritual dan agama yang mendalam akibat keserakahan adalah keadaan manusia zaman kini yang melatarbelakangi adanya krisis ekologis.

Kerusakan akut yang terlihat di tanah, air, udara dan segala bentuk kehidupan merupakan ungkapan sikap serakah yang terolah dalam hati manusia (bdk. LS, 2).

Paus menyoroti fakta yang terabaikan bahwa manusia adalah bagian integral dari sistem bumi dan sekarang secara kolektif menentukan masa depannya.

Paus mengajak dunia untuk segera terlibat dalam dialog yang jujur tentang bagaimana kita akan membangun masa depan planet ini.

Masa Prapaskah mempunyai ciri tobat. Terhadap kondisi pribadi dan komunitas yang menyebabkan kerusakan ekologis, kita dipanggil untuk mengembalikan dan memulikan relasi dengan Tuhan Sang Pencipta, dengan diri kita sebagai Citra Allah dan dengan sesama dan ciptaan lain yang dianugerahkan kepada kita di masa tobat ini.

Setiap umat kristiani diarahkan untuk menekan keserakahan dan keegoisan akutnya terhadap alam ciptaan, dengan membangun kesabaran dalam ‘mengambil’ dari alam ciptaan.

Kesabaran tersebut menggerakan orang masuk ke kedalaman relasi dengan Tuhan dan alam ciptaan lainnya, sehingga orang akan sampai pada kekaguman terhadap proses-proses natural yang terjadi pada setiap alam ciptaan.

Jiika kekaguman terhadap karya ciptaan Tuhan sebagai buah dari nilai kesabaran yang tumbuh dalam diri menghantarkan kita sama seperti Santo Fransiskus dari Asisi yang di dalam ‘Canticle of the Creatures’ (Kidung Para Makhluk) memandang semua ciptaan sebagai sebuah keluarga besar; matahari disebut sebagai “saudara laki-lakinya” dan bulan sebagai “saudari perempuannya”.

Pemahaman baru atas nilai kesabaran dari Santo Fransiskus yang terbukti bermanfaat bagi diri kita sendiri dan orang lain di hari ini, di masa mendatang tetap lestari berkat pertobatan ekologis yang terus menerus kita bangun.

Sebagai bahan refleksi, bahwa dalam diri manusia, Allah telah melengkapinya dengan kemampuan istimewa, yakni kemampuan untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan-Nya.

Pertanyaan refleksinya, apakah tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan melekat pada seluruh umat manusia ataukah hanya sekelompok orang saja?

Apa saja hal konkret yang dapat dilakukan oleh manusia untuk memelihara keutuhan alam ciptaan?

Umat setelah mendalami ini harus mempunyai aksi nyata untuk mencapai budaya ekologis. Terdapat beberapa kegiatan alternatif yang dapat dilakukan:

1. Dengan tekun memilah sampah dan menjadikan sampah sebagai pupuk, media tanam atau bahan eco enzim.

2. Pendidikan nilai untuk ekologi tubuh dengan berkatekese bahwa tubuh kita butuh asupan yang sehat dan mengurangi zat-zat kimia sintetis dan mempromosikan asupan lokal yang sehat mengingat tubuh manusia diciptakan Allah baik adanya.

3. Gerakan peduli lingkungan: misalnya membuat silih bahwa selama masa prapaskah baik pribadi atau kelompok memperhatikan lingkungan sekitar kita: gerakan sehari tanam mangrove sebatang untuk umat yang tinggal di sekitar pantai; gerakan penghijauan tanah paroki atau stasi yang nganggur, dsb.

4. Pola pertanian yang menerapkan budaya sabat dengan keanekaragaman tidak terus menerus menyiksa tanah dengan satu jenis tanaman. (Bersambung)