Timika,papuaglobalnews.com – Marianus Maknaepeku, Wakil Ketua I Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) mengingatkan kepada Melkianus Mote, Bupati Deiyai sebelum mengambil keputusan  membangun gapura tapal batas, di sekitar Kapiraya harus duduk berbicara dengan Pemerintah Kabupaten Mimika dan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro dan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa).

“Kami Lemasko sangat menolak keras atas peletakan batu pertama pembangunan Kantor Distrik Persiapan Memoa dan Kantor Desa di Sungai Dauwo, Desa Mudetadi di Distrik Bouwobado oleh Bupati Deiyai Melkianus Mote. Karena lokasi tersebut masih masuk dalam wilayah Kabupaten Mimika,” tegas Marianus kepada papuaglobalnews.com pada Minggu 2 November 2025.

Marianus menegaskan langkah yang diambil Bupati Deiyai membangun kantor distrik di wilayah itu suatu yang kelewatan dan berlebihan hanya berpatokan pada Surat Keputusan (SK) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

”SADAR

Pemasangan tapal batas menggunakan dasar SK Kemendari, Marianus menilai hal itu sangat keliru.

Melihat situasi ini, Marianus mendesat kepada Meki Fritz Nawipa Gubernur Papua Tengah secepatnya mengambil langkah-langkah strategis mengundang Bupati Deiyai, Bupati Mimika Johannes Retto, Lemasko dan Lemasa untuk duduk berdiskusi. Sebab apa yang dilakukan Bupati Deiyai sudah mewati wilayah hak ulayat masyarakat Kamoro.

Ia mengungkapkan pada saat Deiyai memekarkan diri dari Kabupaten Paniai tanpa ada wilayah yang jelas, sehingga untuk memenuhi syarat administrasi luas wilayah mengambil sebagian lahan masyarakat di Kapiraya wilayah Kabupaten Mimika.

Selain mendesak Gubernur Papua Tengah mengagendakan pertemuan dengan Bupati Mimika, Deiyai dan Lembaga Adat, Marianus mendesak Bupati John secepatnya merespon dengan membentuk tim membahas masalah tapal batas tersebut dengan menghadirkan Lemasko dan Lemasa.

Marianus menilai, pejabat yang mengurus tapal batas sesungguhnya tidak memahami situasi dan kondisi yang ada di lapangan.

Ia juga berharap kepada Pemerintahan Kabupaten Deiyai harus belajar dari Pemerintah Kabupaten Puncak dalam memasang tapal batas sangat memahami tanpa mengambil atau mencaplok yang bukan menjadi haknya.

“Kami Lemasko larang keras Bupati atau siapapun tidak boleh meletakan batu pertama pembangunan di area batas kabupaten yang menjadi milik Mimika,” tegas Marianus.

Dikatakan, dengan Bupati Deiyai memekarkan distrik persiapan dengan tiga kampung sesungguhnya sudah merusak tatanan adat di wilayah tersebut.

“Kita pasti akan marah, orang masuk rumah kita tanpa izin? Kami harap Bupati Mimika bentuk tim untuk bahas hal itu. Ini penting demi anak cucu kedepan,” harapnya.

Selain itu, Marianus menyoroti kinerja anggota DPRK Mimika jalur pengangkatan yang hingga kini tidak ada berbuat sesuatu dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat.

“Kalau anggota DPRK oyame itu hanya datang cari uang saja. Mereka juga tidak paham akan batas-batas wilayah adat Kamoro. Anggota DPRK pengangkatan kami anggap mereka tidak ada,” kritiknya.

Ia berharap anggota DPRK jalur pengangkatan harus membuat Peraturan Daerah (Perda) berkaitan dengan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai payung  hukumnya.

Namun demikian, Marianus mengungkapkan masalah tapal batas ini semasa almarhum Bupati Klemen Tinal, Eltinus Omaleng dan Penjabat Bupati Anathasius Allo Rafra secara tegas sudah berbicara agar kabupaten tetangga tidak boleh mengambil apa yang bukan menjadi hak ulayatnya.