Kita Makan Sagu, Bukan Minum Minyak
Sekilas, pesan ini terdengar menjanjikan. Namun persoalannya terletak pada kerangka besarnya. Papua kembali dibayangkan terutama sebagai ruang strategis negara dan korporasi, bukan sebagai ruang hidup masyarakat adat. Swasembada didefinisikan dari atas melalui proyek besar (sawit, jagung, dst), bukan dari bawah melalui pangan lokal seperti sagu.
Kontradiksi itu tampak jelas ketika Gubernur Papua Tengah, selaku Ketua Perhimpunan Gubernur se-Tanah Papua, menyampaikan keberatan terbuka di hadapan Menteri Dalam Negeri. Ia menegaskan bahwa percepatan pembangunan tidak akan berjalan jika Dana Otonomi Khusus terus dipangkas. “Apa yang kita bicarakan hari ini tidak akan jalan. Dana Otsus sudah dipangkas…” Ia mendesak agar Inpres Nomor 1 Tahun 2025 direview, karena pemangkasan Otsus bertolak belakang dengan retorika percepatan.
Di sinilah paradoks pembangunan Papua menjadi terang: negara mendorong perepatan, swasembada, dan proyek strategis, tetapi instrumen utama yang menopang layanan publik dan kehidupan sehari-hari justru dilemahkan. Papua diminta berlari, sementara alas kakinya dilepas.
Situasi ini memperlihatkan apa yang dapat disebut sebagai kapitalisme berwajah amanah. Kapitaslisme tidak hadir dengan wajah kasar, melainkan dibungkus bahasa moral: kedaulatan energi, kepentingan nasional, dan pengabdian kepada rakyat. Negara tampak netral dan peduli, padahal sedang menyiapkan ruang politik dan ekologis bagi akumulasi modal.
Dalam konteks ini, posisi bupati dan gubernur di Papua menjadi sangat dilematis. Di satu sisi, mereka dipilih oleh rakyat yang hidup dari sagu, hutan, dan tanah adat. Di sisi lain, mereka diikat oleh arahan pusat, target pembangunan, dan disiplin proyek nasional. Meminjam Antonio Gramsci, kepala daerah berada di antara dua hegemoni: hegemoni negara-kapital dan hegemoni lokal rakyat. Ketika mereka tunduk sepenuhnya pada arahan pusat, mereka tidak sedang netral, mereka sedang memihak.
Otonomi daerah seharusnya memberi ruang bagi kepala daerah untuk menafsir, bahkan mengoreksi kebijakan pusat ketika bertabrakan dengan ekologi dan martabat hidup masyarakat adat. Tanpa keberanian etik itu, jabatan kepala daerah berisiko direduksi menjadi fungsi administratif belaka.
“Kita makan sagu, bukan minum minyak” pada akhirnya bukan sekadar slogan. Ia adalah pernyataan politis dan etis tentang apa yang layak dijadikan dasar pembangunan. Selama Papua terus dibaca sebagai ladang energi dan proyek strategis, sementara pangan lokal dan ruang hidup masyarakat adat dipinggirkan, maka pembangunan akan terus kehilangan maknanya.
Bangsa yang besar bukan bangsa yang paling cepat membangun proyek, tetapi bangsa yang tahu apa yang pantas dimakan rakyat, siapa yang harus didengar, dan tanah mana yang tidak boleh dikorbankan atas nama apa pun. **

































