JEJAK KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN APBD DI INDONESIA (Desentralisasi-Bagian 3)
Oleh: Laurens Minipko-Mantan Komisioner KPU Mimika (Isi tulisan tanggung jawab penulis)
- Pengantar
Konsep embriotik kebijakan ‘otonomi daerah’ dan ‘APBD’ dalam fase konstitusi UUD 1945 versi asli dan konstitusi RIS mengalami perkembangan sedikit lebih dewasa dari konsep awal di masa sebelumnya.
Keistimewahannya kebijakan tersebut dilahirkan oleh pemerintahan baru yang dipegang dan dikelola oleh kaum pribumi: Pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. Perumusan regulasi turunan lebih berpihak kepada kedaulatan rakyat, bertujuan mengakomodasi keragaman daerah (di antaranya meredam konflik), mempercepat pengakuan kedaulatan oleh Belanda, memungkinkan pemerintahan lokal lebih berdaya, menciptakan struktur pemerintahan modern dan demokratis.
Namun sayangnya cita-cita konstitusi RIS tidak utuh tercapai. Konstitusi ini dicabut pada 17 Agustus 1950 (hanya satu tahun berlaku) dengan konsekuensi semua negara federasi dibubarkan. Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan (unitary state) dan menganut konstitusi UUD Sementara 1950.
Konstitusi baru ini berlaku mulai 17 Agustus 1950 dan akhirnya dicabut pada 5 Juli 1959. Dalam kondisi transisi yang membutuhkan adanya konstitusi permanen maka Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakukanya UUD 1945 (versi asli/1945) setelah badan konstituante tidak berhasil merumuskan konstitusi yang dibayangkan.
Negara yang baru merdeka ini memasuki fase baru atau orde baru dengan dilantiknya Presiden Soeharto secara definitif pada 12 Maret 1967. Sejak 1967 hingga 1999 UUD 1945 jadi konstitusi resmi dan tidak pernah mengalami amandemen. Semua produk turunan dalam bentuk UU, PP dan regulasi lainnya bersumber atau merujuk pada ketentuan UUD 1945 itu.
Pada bagian ketiga tulisan ini penulis hendak menyajikan potret kebijakan otonomi daerah dan APBD dalam UU No. 5 Tahun 1974.
- UU Nomor 5 Tahun 1974: Mengembalikan Desentralisasi ke Sentralisasi
Undang-Undang yang mengatur tata kelola pemerintahan daerah yang diberlakukan sejak orde lama adalah UU No. 18 Tahun 1965 (masa Demokrasi Terpimpin). Pemerintahan Orde Baru memandang UU tersebut terlalu radikal dan desentralistik. Pemerintahan baru ini ingin menciptakan stabilitas nasional dengan sistem pemerintahan yang lebih sentralistik dan terkendali dari pusat. Berangkat dari konteks historis itulah diterbitkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (disahkan 23 Juli 1974, berlaku 1 Januari 1975).
Undang-Undang 5 Tahun 1974 ini memberi rumusan yang terang benderang tentang konsep otonomi daerah dan APBD. Rumusan tentang pengertian Otonomi Daerah dituangkan dalam pasal 7:
“Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Meskipun tidak terdapat penjelasan khusus untuk Pasal 7 dalam bagian “penjelasan Pasal Demi Pasal” UU No. 5 Tahun 1974, namun pemahaman terhadap pasal ini dapat diambil dari Penjelasan umum undang-undang tersebut. Pasal tersebut mencakup tiga hal pokok yaitu
- Hak dan Kewenangan Daerah. Pada hal ini daerah memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
- Kewajiban Daerah. Pada hal ini daerah juga berkewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Keterbatasan Otonomi. Pada hal ini meskipun daerah diberikan otonomi, pelaksanaannya dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan pengawasan dari pemerintah pusat.
Secara garis besar Bab III tentang Daerah Otonom (pasal 3-27) mengatur pembentukan, susunan, dan wewenang daerah tingkat I dan II, termasuk di dalamnya;
- Pembentukan Daerah berdasarkan syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas wilayah, pertahanan dan keamanan nasional.
- Kepala Daerah. Bahwa kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, bukan melalui pemilihan langsung
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki fungsi legislasi dan pengawasan, namun dalam prakteknya terbatas.
Di samping pembagian wilayah otonom, pasal 55 sampai pasal 64 mengatur tentang keuangan daerah. Pasal 55, misalnya, mengatur tentang sumber-sumber pendapatan yang dapat dimiliki oleh daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah meliputi: 1. PAD (hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan); 2. Bantuan dari Pemerintah Pusat (Subsidi); 3. Sumber pendapatan lain yang sah.
Meskipun daerah diberikan kewenangan untuk mengelola pendapatan sendiri, namun dalam prakteknya, otonomi fiskal daerah sangat terbatas. Ketergantungan pada pemerintah pusat tetap tinggi, dan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri masih rendah. Dalam konteks itu selama masa Orde Baru pengelolaan keuangan daerah berada di bawah pengawasan ketat pemerintah pusat, terutama melalui Kementrian Dalam Negeri. Hal ini mencerminkan pendekatan sentralistik dalam pengelolaan keuangan daerah.
Pasal 56 mengatur tentang Penyerahan Pajak negara kepada daerah. Pasal ini menyatakan bahwa dengan undang-undang, suatu pajak negara dapat diserahkan kepada daerah untuk menjadi sumber pendapatan daerah. Dalam hal pajak sebagaimana ketentuan pasal tersebut Pemerintah Pusat dapat menetapkan melalui undang-undang bahwa pajak tertentu yang sebelumnya merupakan kewenangan pusat diserahkan kepada daerah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan memperkuat otonomi fiskal daerah.
Bagian tentang keuangan daerah ditutup dengan pasal 64 dengan rincian 9 ayat. Pasal ini ditetapkan untuk menyeragamkan siklus penganggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penyeragaman ini penting agar:
- Perencanaan dan pengendalian keuangan publik menjadi lebih sinkron antara pusat dan daerah.
- Transfer keuangan dari pusat ke daerah (seperti subsidi atau bantuan pembangunan) dapat dilakukan secara tepat waktu dan efisien.
- Evaluasi dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap anggaran daerah menjadi lebih mudah, karena laporan disusun dalam periode yang sama.
- Koordinasi pembangunan nasional dan daerah dapat dilakukan secara simultan sesuai tahun fiskal yang sama (1 Januari – 31 Desember).
Meskipun otonomi daerah diberikan, pengelolaan APBD tetap sangat bergantung pada regulasi dan pengawasan dari pemerintah pusat. Salah satu bentuknya adalah keseragaman tahun anggaran. Hal itu menunjukkan karakteristik sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa Orde baru, dimana mekanisme fiskal dan administrasi daerah tunduk pada sistem nasional secara ketat. Bersambung…