Sentralisme dalam  Ilmu Pengetahuan

Di tingkat nasional, sentralisme juga termanifestasi dalam berbagai kebijakan pendidikan dan penelitian yang disusun. Pemerintah Pusat cenderung memonopoli arah pengembangan ilmu, mendikte kurikulum, tema riset prioritass, dan distribusi dana penelitian. Hal ini menciptakan ketimpangan antara universitas-universitas di pusat (terutama di Pulau Jawa) dan Lembaga Pendidikan di daerah-daerah yang lebih marginal. Ketika kebijakan ilmiah ditentukan dari pusat tanpa partisipasi aktif dari komunitas lokal, maka ilmu sosial kehilangan daya kritisnya.

Ia tidak lagi menjadi alat untuk memahami kompleksitas sosial secara ‘emik’ (pendekatan memahami suatu budaya atau masyarakat dari sudut pandang orang dalam/lokal), melainkan menjadi instrumen pengendalian sosial yang mencerminkan kepentingan kekuasaan pusat. Di sinilah terlihat bagaimana sentralisme dapat menjadi alat hegemoni dan budaya.

”MTQ

Wajah Sentralisasi  dalam Regulasi Pusat

Sentralisasi  dalam regulasi produk ‘pusat’  merujuk pada dominasi pusat dalam merumuskan dan memberlakukan regulasi yang mengatur arah tata kelola pemerintahan dan investasi ekonomi nasional. Dimana peran daerah, masyarakat adat, atau komunitas lokal seringkali dipinggirkan. Negara/pusat bertindak sebagai aktor hegemonik, yang mendefinisikan mana yang disebut ‘kepentingan umum’, kepastian hukum, atau iklim investasi yang sehat’ tanpa partisipasi sejati dari wilayah terdampak. Contoh terang benderang dari implementasi paradigma ini di Indonesia terlihat dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Mencermati proses kelahiran, penerapan dan pengawalan terhadapnya, UU Cipta Kerja merupakan contoh paling nyata hegemoni regulatif pusat. Ia disusun untuk menyederhanakan berbagai peraturan demi menarik investasi, tapi melemahkan kewenangan daerah (izin tambang, tata ruang, lingkungan hidup); mempermudah pengusaha dalam pengadaan tanah (pada gilirannya memicu konflik agraria), mengurangi ruang konsultasi publik dan partisipasi masyarakat sipil. UU ini memperlihatkan bagaimana kepentingan investor (nasional, global/’Barat’) menjadi pusat orientasi, dan negara menjadi alat ideologis yang mengatur narasi  pembangunan demi investasi.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), misalnya, ditentukan dari pusat dan mengatur penggunaan ruang di seluruh Indonesia, seringkali menyisihkan tata ruang adat atau lokal yang sudah eksis secara kultural (misalnya wilayah sakral, tanah ulayat), RTRWN menjadi rujukan tunggal dalam menentukan izin tambang, sawit, atau pembangunan kawasan industri. Dalam perspektif hegemonia-an semisal Gramscian, ini adalah bentuk hegemoni  melalui instrument teknokrat: Narasi rasionalisasi tata ruang menutupi ketimpangan kuasa yang terjadi. Dengan kaca mata tersebut kita dapat memahami keruwetan penambangan nikel di Raja Ampat.

Perlawanan dan Dekolonisasi Ilmu Sosial

Kritik terhadap sentralisme dalam ilmu sosial bukan hal baru. Sejak 1970-an, muncul gerakan dekolonisasi ilmu pengetahuan  yang menyerukan pengakuan terhadap pluralitas epistemologi. Di Amerika Latin, misalnya, muncul Gerakan ‘teori dependensia’ dan ‘epistemology of the South’ dari tokoh-tokoh seperti Anibal Quijano dan Bonaventura de Sousa Santos. Di Indonesia, sedikit akademisi dan praktisi mulai menggali kembali warisan intelektual lokal misalnya dari filsafat Jawa hingga sistem sosial adat Papua sebagai dasar alternatif pembangunan ilmu sosial yang lebih kontekstual. Namun, tanpa dukungan institusional dan perubahan paradigma di tingkat kebijakan, gerakan ‘dari bawah’ ini masih bersifat sporadik dan jauh dari harapan.

Sentralisme sebagai Relasi Kuasa

Paradigma Hegemoni Sentralisme dalam ilmu-ilmu sosial bukan sekedar struktur pusat dan pinggiran secara geografis, tetapi mencerminkan relasi kuasa dalam produksi dan legitimasi pengetahuan, kebijakan politik, hukum, ekonomi, pasar dan kebijakan dalam berbagai ruang tata kelola kehidupan publik. Untuk membebaskan sentralisme tersebut dibutuhkan keberanian epistemologis dan politik untuk semakin memberdayakan paradigma baru yang sudah tumbuh yang menempatkan masyarakat lokal (dalam kasus masyarakat terdampak penambangan nikel Raja Ampat) sebagai pusat pembacaan realitas sosial, ekonomi, politik, hukum dan tata kelola pemerintahan.

Ini bukan berarti menolak klaim pusat atas Raja Ampat, melainkan merekonfigurasinya dalam ruang dalam format yang lebih adil, dialogis, dan kontekstual. (*)