Hegemoni Paradigma Sentralisme
Oleh : Laurens Manipko (isi tulisan tanggung jawab penulis)
ILMU-ilmu sosial sejak kelahirannya telah menjadi medan pertempuran wacana. Di mana kekuasaan epistemologi tidak berdiri netral. Salah satu bentuk dominasi paling mendalam yang mengakar dalam disiplin ini adalah hegemoni sentralisme, yakni dominasi pusat terhadap pinggiran dalam hal produksi pengetahuan, metodologi, serta kerangka interpretasi sosial. Sentralisme bukan sekedar tata kelola administratif atau kebijakan negara, melainkan sebuah paradigma yang membentuk cara berpikir, meneliti, memahami masyarakat, cara merumuskan regulasi hingga cara merumuskan falsafah yang pada muaranya dipaksakan dianut oleh publik.
Pada tulisan dengan judul ‘Hegemoni Paradigma Sentralime’ (selanjutnya disebut sentralisme) ini penulis coba menyajikan sentralisme yang lahir dan mengakar kuat dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu filsafat, sosial sejak kelahirannya hingga penerapannya dalam tata kelola administrasi pemerintahan fase kolonialisasi hingga dekolonisasi/pemerintahan modern.
Sentralisme didefinisikan sebagai cara pandang atau kerangka berpikir yang memandang kebenaran, kontrol atau otoritas berasal dari pusat, bersebelahan dengan pinggiran yang bersifat dependen, terkendali, dan tidak otonom. Dalam pandangan filsafat itu sentralisme menukik pada struktur ideologis yang mengatur relasi pusat dan pinggiran, dominan dan subordinat. Dalam penerapannya di ruang publik seperti ilmu-ilmu sosial dan pemerintahan (administrasi dan hukum tata negara sejak fase purba, kolonial hingga modern), sentralisme diartikan sebagai cara berpikir dan sistem pemerintahan yang “memusatkan” segala pengambilan keputusan, sumber daya, dan kendali kekuasaan pada pemerintahan pusat, dengan konsekuensi keterbatasan inisiatif dan otonomi daerah.
Warisan Kolonial dan Modernitas Barat
Ilmu-ilmu sosial modern lahir dan tumbuh di jantung Eropa dan Amerika Utara. Konteks ini mempengaruhi epistemologi dan pendekatan teoritis yang dikembangkan di berbagai daerah di luar dua zona tersebut. Teori-teori besar seperti Marxisme, strukturalisme, fungsionalisme, positivisme hingga postmodernisme, semua berakar pada pengalaman historis, budaya, dan politik negara-negara Barat dan Amerika.
Ilmu-ilmu tersebut mengalami pendewasaan dalam fase kolonisasi Barat di Timur. Dalam proses dekolonisasi, banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mewarisi institusi dan kerangka berpikir tersebut, termasuk dalam bidang akademik. Sebagai akibatnya, ilmu-ilmu sosial di negara-negara pasca-kolonial (semisal INDONESIA) sering kali terjebak dalam paradigma imitasi yang wujudnya mengkaji masyarakat lokal dengan lensa teori Barat tanpa menyesuaikan konteks sosial, budaya (adat istiadat) yang unik. Ini merupakan bentuk sentralisme epistemik, dimana pusat produksi pengetahuan tetap berada di Barat (atau ibu Kota negara), sementara ‘pinggiran (daerah hingga masyarakat lokal’ sekedar menjadi ladang data atau objek penelitian.
Modernitas Barat merujuk pada cara berpikir dan tata kelola hidup yang muncul dari pengalaman historis Eropa (khususnya Barat), dan diposisikan sebagai standar universal kemajuan, menggantikan cara hidup tradisional atau primitif. Cara berpikir tersebut terimplementasi pada beberapa bidang kehidupan seperti rasionalitas, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Sekularisme, Kapitalisme dan kemajuan linear.
Dalam bidang kapitalisme digambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis pasar, industri, dan kepemilikan pribadi. Basis paradigma ini mengemuka dalam ruang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkeyakinan bahwa ilmu pengetahuan (termasuk politik dan ekonomi modern) adalah instrumen untuk memajukan manusia dan memerdekakan dari keterbelakangan masyarakat dan memajukan sosial ekonomi negara bangsa), yang muaranya menyetarakan rakyat dan bangsa ‘Timur’ terhadap ‘sentrum Barat.’
Sentralisme Intitusional dan Bahasa Ilmu
Sentralisme tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga institusional. Lembaga akademik, jurnal ilmiah bereputasi, dan sistem akreditasi ilmu pengetahuan internasional seringkali menetapkan standar yang merefleksikan nilai-nilai dan cara pandang pusat. Bahasa Inggris, misalnya, menjadi bahasa dominan dalam publikasi akademik global. Konsekuensinya, pengetahuan lokal yang tidak sesuai dengan standar atau format Barat dianggap inferior, tidak ilmiah, atau tidak relevan secara global.
Dalam konteks Indonesia, banyak akademisi merasa terdorong untuk menyesuaikan diri dengan pola global ini. Penelitian lokal yang menggunakan Bahasa dan metode khas Nusantara seringkali tidak mendapat tempat dalam arena ilmiah internasional, sekalipun memiliki kedalaman dan relevansi konteks yang tinggi. Sentralisme ini memperkuat struktur ketergantungan intelektual yang membatasi inovasi lokal.
Sentralisme dalam Ilmu Pengetahuan
Di tingkat nasional, sentralisme juga termanifestasi dalam berbagai kebijakan pendidikan dan penelitian yang disusun. Pemerintah Pusat cenderung memonopoli arah pengembangan ilmu, mendikte kurikulum, tema riset prioritass, dan distribusi dana penelitian. Hal ini menciptakan ketimpangan antara universitas-universitas di pusat (terutama di Pulau Jawa) dan Lembaga Pendidikan di daerah-daerah yang lebih marginal. Ketika kebijakan ilmiah ditentukan dari pusat tanpa partisipasi aktif dari komunitas lokal, maka ilmu sosial kehilangan daya kritisnya.
Ia tidak lagi menjadi alat untuk memahami kompleksitas sosial secara ‘emik’ (pendekatan memahami suatu budaya atau masyarakat dari sudut pandang orang dalam/lokal), melainkan menjadi instrumen pengendalian sosial yang mencerminkan kepentingan kekuasaan pusat. Di sinilah terlihat bagaimana sentralisme dapat menjadi alat hegemoni dan budaya.
Wajah Sentralisasi dalam Regulasi Pusat
Sentralisasi dalam regulasi produk ‘pusat’ merujuk pada dominasi pusat dalam merumuskan dan memberlakukan regulasi yang mengatur arah tata kelola pemerintahan dan investasi ekonomi nasional. Dimana peran daerah, masyarakat adat, atau komunitas lokal seringkali dipinggirkan. Negara/pusat bertindak sebagai aktor hegemonik, yang mendefinisikan mana yang disebut ‘kepentingan umum’, kepastian hukum, atau iklim investasi yang sehat’ tanpa partisipasi sejati dari wilayah terdampak. Contoh terang benderang dari implementasi paradigma ini di Indonesia terlihat dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Mencermati proses kelahiran, penerapan dan pengawalan terhadapnya, UU Cipta Kerja merupakan contoh paling nyata hegemoni regulatif pusat. Ia disusun untuk menyederhanakan berbagai peraturan demi menarik investasi, tapi melemahkan kewenangan daerah (izin tambang, tata ruang, lingkungan hidup); mempermudah pengusaha dalam pengadaan tanah (pada gilirannya memicu konflik agraria), mengurangi ruang konsultasi publik dan partisipasi masyarakat sipil. UU ini memperlihatkan bagaimana kepentingan investor (nasional, global/’Barat’) menjadi pusat orientasi, dan negara menjadi alat ideologis yang mengatur narasi pembangunan demi investasi.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), misalnya, ditentukan dari pusat dan mengatur penggunaan ruang di seluruh Indonesia, seringkali menyisihkan tata ruang adat atau lokal yang sudah eksis secara kultural (misalnya wilayah sakral, tanah ulayat), RTRWN menjadi rujukan tunggal dalam menentukan izin tambang, sawit, atau pembangunan kawasan industri. Dalam perspektif hegemonia-an semisal Gramscian, ini adalah bentuk hegemoni melalui instrument teknokrat: Narasi rasionalisasi tata ruang menutupi ketimpangan kuasa yang terjadi. Dengan kaca mata tersebut kita dapat memahami keruwetan penambangan nikel di Raja Ampat.
Perlawanan dan Dekolonisasi Ilmu Sosial
Kritik terhadap sentralisme dalam ilmu sosial bukan hal baru. Sejak 1970-an, muncul gerakan dekolonisasi ilmu pengetahuan yang menyerukan pengakuan terhadap pluralitas epistemologi. Di Amerika Latin, misalnya, muncul Gerakan ‘teori dependensia’ dan ‘epistemology of the South’ dari tokoh-tokoh seperti Anibal Quijano dan Bonaventura de Sousa Santos. Di Indonesia, sedikit akademisi dan praktisi mulai menggali kembali warisan intelektual lokal misalnya dari filsafat Jawa hingga sistem sosial adat Papua sebagai dasar alternatif pembangunan ilmu sosial yang lebih kontekstual. Namun, tanpa dukungan institusional dan perubahan paradigma di tingkat kebijakan, gerakan ‘dari bawah’ ini masih bersifat sporadik dan jauh dari harapan.
Sentralisme sebagai Relasi Kuasa
Paradigma Hegemoni Sentralisme dalam ilmu-ilmu sosial bukan sekedar struktur pusat dan pinggiran secara geografis, tetapi mencerminkan relasi kuasa dalam produksi dan legitimasi pengetahuan, kebijakan politik, hukum, ekonomi, pasar dan kebijakan dalam berbagai ruang tata kelola kehidupan publik. Untuk membebaskan sentralisme tersebut dibutuhkan keberanian epistemologis dan politik untuk semakin memberdayakan paradigma baru yang sudah tumbuh yang menempatkan masyarakat lokal (dalam kasus masyarakat terdampak penambangan nikel Raja Ampat) sebagai pusat pembacaan realitas sosial, ekonomi, politik, hukum dan tata kelola pemerintahan.
Ini bukan berarti menolak klaim pusat atas Raja Ampat, melainkan merekonfigurasinya dalam ruang dalam format yang lebih adil, dialogis, dan kontekstual. (*)