Pentingnyan Refleksi Sosial ini bagi Kehidupan Bersama di Timika Hari Ini

Pertama, Timika adalah kota pertemuan puluhan suku, baik suku-suku asli Papua, juga suku-suku non-asli Papua. Keragaman ini dapat menjadi kekuatan besar, tetapi juga potensi perpecahan jika fanatisme tidak dibaca secara jernih. Refleksi ini sekadar memantik kesadaran kolektif kita untuk melihat ketegangan antar-suku bukan sekadar konflik budaya, tetapi hasil dari mobilisasi politik.

Kedua, berbagai konflik yang berulang: persoalan tapal batas, kekerasan antarkelompok, sengketa lahan, hingga kasus Kapiraya, tidak pernah terjadi dalam ruang kosong. Biasanya ada kepentingan yang ikut bermain: akses lahan, proyek pembangunan, atau momentum politik. Kajian fanatisme membantu masyarakat melihat kepentingan di balik layar, bukan hanya emosi di permukaan.

Ketiga, keberadaan mega korporasi membuat Timika menjadi pusat ekonomi raksasa. Dalam konteks seperti ini, identitas adat sangat mudah dipolitisasi. Ada suku yang merasa berhak secara sejarah, ada yang merasa terpinggirkan, dan ada yang dijadikan alat tawar-menawar oleh elit. Tanpa hening dan mengedepankan nalar kritis, akan terpampang di hadapan kita masyarakat terus dibenturkan untuk kepentingan yang bukan milik mereka.

Keempat, fanatisme bekerja sebagai mekanisme pembungkaman. Tidak sedikit orang dalam organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan yang takut mengoreksi pemimpinnya sendiri karena khawatir dilabeli “tidak setia pada suku adat atasan. Kajian ini penting untuk membebaskan ruang berpikir warga, sehingga kritik tidak lagi dianggap ancaman bagi adat atau legitimasi adat.

Kelima, Mimika sedang memasuki fase politik baru: DOB, penataan ulang birokrasi, dan perebutan ruang ekonomi. Fanatisme identitas dipastikan akan mengikat dalam situasi seperti ini. Masyarakat perlu kesiapan intelektual untuk tidak mudah digerakkan oleh narasi suku yang emosional.

Keenam, analisis ini membantu membangun budaya damai lintas-suku. Identitas suku adalah kekayaan, bukan alat perang. Dengan membongkar bagaimana fanatisme diproduksi, kita justru menyelamatkan nilai adat dari manipulasi politik.

Fanatisme suku bukan takdir. Ia adalah konstruksi politik yang lahir ketika kekuasaan dijalankan tanpa ruang kritis. Karena itu, tugas kita bukan mematikan identitas suku, tetapi mengembalikannya pada fungsi yang sejati, yaitu ruang solidaritas, bukan mesin mobilisasi.

Ketika politik tidak lagi menjadikan suku sebagai alat tawar-menawar, ketika warga berani bersuara tanpa takut dilabeli penghianat, dan ketika solidaritas antarsuku tumbuh sebagai kesadaran bersama, barulah kita dapat membangun masa depan sosial yang sehat: setara, damai, dan bermartabat. ** (Isi tulisan tanggung jawab penulis)