Oleh : Laurens Minipko

 

DI BANYAK daerah di Indonesia, terutama Papua, kita melihat fenomena yang terus berulang: solidaritas suku yang seharusnya menjadi ruang perlindungan justru berubah menjadi alat mobilisasi politik. Identitas yang seharusnya menjadi ruang solidaritas justru berubah menjadi alat mobilisasi, pembenaran kekerasan, dan instrumen perebutan sumber daya.

 Primordialisme hingga Perebutan Suara Sub-altern

Cliffort Geertz menyebut ikatan suku sebagai “primordialisme”,  sesuatu yang dirasakan alami: hubungan darah, tanah kelahiran, marga, dan adat. Namun dalam praktik kekuasaan, ikatan ini jarang sekali bekerja secara murni. Ia diproduksi, diaktifkan, dan dimanipulasi oleh elit politik dan ekonomi. Naluri suku berubah menjadi modal politik yang dipakai pada saat ada jabatan diperebutkan, ada proyek dibagikan, atau ada batas wilayah yang mulai dipersoalkan.

Teori konflik (Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf) menegaskan bahwa identitas sering menjadi tirai yang menutupi perebutan kekuasaan. Fanatisme biasanya meledak ketika ada sesuatu yang besar dipertaruhkan: kursi kepala daerah, lokasi DOB, distribusi APBD, atau konflik lahan. Dalam konteks Daerah Otonomi Baru, dinamika seperti ini terasa sangat kuat. Dalam keseharian relasi sosial, kita melihat bagaimana narasi “harga diri suku” atau “anak adat harus bersatu” muncul bersamaan dengan perebutan ruang politik dan ekonomi.

Pierre Bourdieu membantu kita memahami mengapa sentimen ini begitu efektif. Ia menyebut identitas sebagai “modal sosial” yang dapat dipakai untuk mobilisasi. Elit tahu bahwa cukup dengan membangkitkan emosi kolektif, narasi tentang ancaman terhadap suku atau marwah adat, massa akan bergerak. Identitas bekerja seperti investasi: dipakai untuk mendapatkan legitimasi saat dibutuhkan, lalu disimpan kembali ketika tujuan tercapai.

Yang lebih berbahaya adalah cara fanatisme diproduksi lewat bahasa. Mechel Foucault menyebutnya “rezim kebenaran”, yaitu serangkaian pernyataan yang terus diulang sampai dianggap kebenaran tunggal. Ungkapan seperti “yang memimpin harus orang asli sini”, “kritik itu pengkhianatan atau pelecehan terhadap suku”, atau “kita harus jaga marwah” menjadi perangkat wacana yang menutup ruang kritis. Ketika bahasa dibekukan seperti ini, fanatisme tidak sekadar konflik antarsuku, tetapi menjadi kekerasan simbolik yang membentuk cara berpikir masyarakat.

Dalam perspektif Frantz Fanon, masyarakat yang mengalami sejarah ketidakadilan sangat rentan pada politik identitas. Luka kolonial, marginalisasi ekonomi, dan kegagalan negara menghadirkan keadilan membuat identitas suku menjadi tempat berlindung sekaligus tempat melampiaskan frustasi. Dalam konteks Papua, fanatisme identitas tidak bisa dipisahkan dari pengalaman ketidaksetaraan dan kekerasan epistemik yang masih sangat hidup hingga hari ini.

Masalahnya, fanatisme suku sering menutup suara rakyat kecil. Gayatri Spivak menyebutnya “perebutan suara subaltern”, yaitu selalu ada segelintir elit yang mengaku bicara atas nama suku. Padahal suara mama-mama pasar, anak muda kampung, atau pekerja kecil tidak pernah diikutsertakan. Fanatisme suku akhirnya menjadi alat kontrol internal untuk mempertahankan kekuasaan kelompok tertentu.

Pentingnyan Refleksi Sosial ini bagi Kehidupan Bersama di Timika Hari Ini

Pertama, Timika adalah kota pertemuan puluhan suku, baik suku-suku asli Papua, juga suku-suku non-asli Papua. Keragaman ini dapat menjadi kekuatan besar, tetapi juga potensi perpecahan jika fanatisme tidak dibaca secara jernih. Refleksi ini sekadar memantik kesadaran kolektif kita untuk melihat ketegangan antar-suku bukan sekadar konflik budaya, tetapi hasil dari mobilisasi politik.

Kedua, berbagai konflik yang berulang: persoalan tapal batas, kekerasan antarkelompok, sengketa lahan, hingga kasus Kapiraya, tidak pernah terjadi dalam ruang kosong. Biasanya ada kepentingan yang ikut bermain: akses lahan, proyek pembangunan, atau momentum politik. Kajian fanatisme membantu masyarakat melihat kepentingan di balik layar, bukan hanya emosi di permukaan.

Ketiga, keberadaan mega korporasi membuat Timika menjadi pusat ekonomi raksasa. Dalam konteks seperti ini, identitas adat sangat mudah dipolitisasi. Ada suku yang merasa berhak secara sejarah, ada yang merasa terpinggirkan, dan ada yang dijadikan alat tawar-menawar oleh elit. Tanpa hening dan mengedepankan nalar kritis, akan terpampang di hadapan kita masyarakat terus dibenturkan untuk kepentingan yang bukan milik mereka.

Keempat, fanatisme bekerja sebagai mekanisme pembungkaman. Tidak sedikit orang dalam organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan yang takut mengoreksi pemimpinnya sendiri karena khawatir dilabeli “tidak setia pada suku adat atasan. Kajian ini penting untuk membebaskan ruang berpikir warga, sehingga kritik tidak lagi dianggap ancaman bagi adat atau legitimasi adat.

Kelima, Mimika sedang memasuki fase politik baru: DOB, penataan ulang birokrasi, dan perebutan ruang ekonomi. Fanatisme identitas dipastikan akan mengikat dalam situasi seperti ini. Masyarakat perlu kesiapan intelektual untuk tidak mudah digerakkan oleh narasi suku yang emosional.

Keenam, analisis ini membantu membangun budaya damai lintas-suku. Identitas suku adalah kekayaan, bukan alat perang. Dengan membongkar bagaimana fanatisme diproduksi, kita justru menyelamatkan nilai adat dari manipulasi politik.

Fanatisme suku bukan takdir. Ia adalah konstruksi politik yang lahir ketika kekuasaan dijalankan tanpa ruang kritis. Karena itu, tugas kita bukan mematikan identitas suku, tetapi mengembalikannya pada fungsi yang sejati, yaitu ruang solidaritas, bukan mesin mobilisasi.

Ketika politik tidak lagi menjadikan suku sebagai alat tawar-menawar, ketika warga berani bersuara tanpa takut dilabeli penghianat, dan ketika solidaritas antarsuku tumbuh sebagai kesadaran bersama, barulah kita dapat membangun masa depan sosial yang sehat: setara, damai, dan bermartabat. ** (Isi tulisan tanggung jawab penulis)