Keberpihakan pada OAP: Basis Ontologi Kota

Michel Foucault menyebut kekuasaan bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal wacana: siapa yang berbicara, siapa yang dibungkam. DOB akan kehilangan makna bila hanya menghadirkan representasi simbolik OAP, tetapi menyingkirkan mereka dalam birokrasi dan distribusi anggaran.

Riset sederhana yang bisa dilakukan:

1. Analisa APBD. Berapa persen anggaran yang langsung menyentuh Masyarakat kampung, mama-mama di pasar, dan pemuda Papua?

2. Data birokrasi. Berapa persen posisi strategis di pemerintahan kota madya diisi oleh OAP?

DOB yang memihak pada OAP akan menghadirkan wajah baru pemerintahan: bukan sebatas kantor dan papan nama, tetapi ruang partisipasi yang setara.

Refleksi Filsafat: DOB sebagai Proyek Moral

1. Pancasila menempatkan keadilan sosial sebagai sila penutup, artinya sebagai tujuan akhir negara. DOB Mimika harus menegakkan sila ini dengan distribusi adil.

2. Rawls memberi landasan: kota baru hanya sah jika ia menguntungkan yang paling lemah.

3. Fanon memperingatkan: bila DOB hanya jadi elite, ia melahirkan kolonialisme baru di tanah sendiri.

4. Heidegger mengingatkan: kota tanpa tanah ulayat hanyalah ruang kosong tanpa identitas.

Dengan demikian, DOB Mimika adalah proyek moral: ia harus menghadirkan ruang hidup yang adil, bermartabat, dan berpihak pada OAP.

Bupati benar ketika berkata: DOB bukan sekadar bangunan kosong. Namun, agar benar-benar penuh makna, DOB harus diisi dengan keadilan sosial, perlindungan hak-hak ulayat, dan keberpihakan pada OAP. Tanpa itu, DOB hanyalah papan nama kota madya yang indah di atas peta, tetapi hampa di hati rakyatnya, terutama yang terpinggirkan.

Mimika berhak menjadi kota, tetapi lebih dari itu, Mimika adalah Kota Madya yang menjadi ruang keadilan. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)