DOB Kota Madya Mimika, Rumah Keadilan Sosial
Oleh : Laurens Minipko
KETIKA Bupati Mimika Johannes Rettob menegaskan bahwa pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Madya Mimika “bukan sekadar bangunan kosong” (Timika, 22-8-2025). Kita diajak untuk melihat DOB lebih dari sebatas proyek administrasi pemerintahan, simbol status, atau atribut kota madya. Ia adalah ruang hidup bersama yang seharusnya memuat nilai: keadilan sosial, perlindungan hak ulayat, dan keberpihakan nyata pada Orang Asli Papua (OAP).
Dalam kerangka filsafat politik, DOB Mimika adalah moment of truth: ia dapat menjadi jalan menuju rekonsiliasi sosial atau hanya menambah lapisan ketimpangan. Untuk itu, DOB perlu diuji dengan riset sederhana di lapangan, agar klaim “bukan bangunan kosong” memiliki bukti, bukan berhenti di retorika.
Keadilan Sosial: Mengisi Bangunan dengan Distribusi yang Adil
DOB akan diuji pertama-tama pada aspek keadilan sosial. John Rawls dalam teorinya menekankan prinsip “difference principle”: setiap perubahan struktur sosial harus menguntungkan mereka yang paling lemah.
Di Mimika, riset sederhana bisa dilakukan warga kota dengan:
1. Survey akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Siapa yang paling banyak menikmatinya? Apakah OAP di kampung/pinggiran, dan mama-mama pasar mendapat porsi yang adil, ataukah hanya kelompok elite perkotaan?
2. Analisis ketimpangan pendapatan dan layanan. Statistik BPS bisa dipadukan dengan wawancara masyarakat kampung.
Jika hasil riset menunjukkan OAP masih tertinggal, maka DOB berisiko menjadi “bangunan kosong”: ada struktur kota, tetapi isinya tidak mengandung keadilan sosial.
Hak Ulayat: Kota Madya sebagai Ruang Identitas
Dalam filsafat eksistensial, Martin Heidegger memandang tanah sebagai dwelling: ruang tinggal manusia untuk menjadi dirinya. Bagi Masyarakat Papua, tanah ulayat bukan hanya aset ekonomi, melainkan identitas kultural. Frantz Fanon mengingatkan bahwa kolonialisme sering dimulai dari perampasan tanah, yang berarti perampasan martabat.
Riset sederhana dapat dilakukan dengan:
1. Pemetaan partisipatif hak ulayat. Tokoh adat diajak menandai wilayah ulayat yang masih bertahan dan yang sudah berubah fungsi.
2. Dokumentasikan konflik tanah. Apakah DOB melindungi atau justru mempercepat perampasan hak ulayat demi pembangunan gedung dan jalan?
DOB hanya akan sah secara moral bila ia menempatkan tanah ulayat sebagai fondasi hukum dan identitas, bukan hanya sebatas lahan pembangunan

































