Catatan Perjalanan Bayu Nerviadi-Juri Mazmur Pesparani II Papua Tengah: Menemukan Surga di Timika
Oleh : Bayu Nerviadi
SEJAK mendarat di Timika untuk bertugas di Pesparani Katolik II Provinsi Papua Tengah yang berlangsung dari tanggal 2 sampai 6 Desember 2025, rasanya hati ini sudah dag-dig-dug duluan. Bukan cuma karena cuaca atau perjalanannya, tapi lebih karena ekspektasi akan apa yang bakal disuguhkan oleh saudara-saudara kita di sini.
Dan ternyata, venue lomba di Gereja Katedral Tiga Raja Timika menjadi saksi bisu bagaimana standar musik liturgi di tanah Papua ini sudah melesat jauh ke atas.
Jujurly, menjadi juri Mazmur kali ini rasanya nano-nano. Antara bangga, terharu, sama sedikit “pusing” (tapi ini pusing yang positif ya, karena kualitas pesertanya ngeri-ngeri sedap! Ketat banget nilainya! 😅). Melihat antusiasme kontingen dari Nabire, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, hingga Deiyai, aura persaudaraannya itu lho… hangat sekali. Tapi jangan salah, begitu mereka naik mimbar pemazmur? Wah, mode serius langsung ON! 🔥
Izinkan saya membuat sedikit laporan pertanggungjawaban moral tentang apa yang terjadi di tanggal 3 dan 4 Desember 2025 saat pelaksanaan;
Tanggal 3 Desember: Pasukan Kecil Cabe Rawit (Anak & Remaja).
Hari ini dikhususkan untuk lomba Mazmur Tanggapan berbahasa Indonesia. Dan astaga… suara mereka itu beningnya ngalahkan air mineral pegunungan!
Saya harus kasih apresiasi setinggi langit buat kategori ini. Kenapa? Karena kelihatan banget persiapan mereka ini bukan sistem SKS (Sistem Kebut Semalam). Teknik vokalisasinya matang, artikulasinya jelas, dan ekspresi wajahnya itu, tulus sekali.
Mereka menyanyi dengan sepenuh hati, benar-benar storytelling lewat nada. Kualitasnya merata untuk para peserta. Ini bukti bahwa para pelatih di daerah-daerah ini sudah bekerja super keras dan serius. Para pelatih, anda adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Tanggal 4 Desember: Pasukan Gregorian (OMK dan Dewasa).
Nah, ini dia menu yang selalu bikin deg-degan: Mazmur Gregorian. Kita semua tahu, menyanyikan Gregorian itu bukan perkara mudah. Ini musik purba, musik akarnya Gereja kita. Tapi apa yang terjadi di Katedral Tiga Raja?
Teori bahwa musik itu universal terbukti telak di sini. Kita tahu logat dan dialek saudara-saudara kita di Papua Tengah ini sangat khas dan beragam? Tapi, magic happens!

































