Papua diundang tampil di panggung, tapi tidak diundang bicara soal luka kolonialisme dalam negeri. Perempuan Papua diundang mengenakan gaun modern, tapi tidak diundang menafsirka kemerdekaan. Dalam kerangka ini, “Miss indonesia menjadi semacam “museum simbolik, di mana semua identitas harus dipamerkan, tapi tidak boleh bergerak liar.

Simbol Papua boleh hadir sejauh ia tidak mengguncang narasi besar kebangsaan. Dan ini bukan hanya terjadi pada Papua. Ini adalah gejala umum dari proyek representasi nasional yang ingin tampak inklusif, namun tetap terpusat pada satu tafsiran dominan. Pusat-sentris, dan netral secara politik.

Menuju Kritik Representasi yang Adil. Kita tidak menolak Miss Indonesia. Tapi kita perlu bertanya:

• Apakah kontes ini memberi ruang untuk tafsir alternatif dari tiap provinsi?

• Ataukah ia hanya mengemas keragaman dalam bungkus simbolik yang steril?

• Jika seorang perempuan Papua dikembalikan karena simbol politik, mengapa negara tidak pernah merasa perlu mengembalikan simbol kekerasan struktural yang terus berulang di wilayah ini?

Ini Bukan Soal Bendera

Ketika simbol disaring, ketika tubuh dikontrol, ketika perempuan Papua dibungkam, maka Miss Indonesia bukan lagi ajang kecantikan. Ia telah berubah menjadi reproduksi kuasa simbolik yang membatasi makna perempuan, membatasi makna Papua, dan membatasi makna kebangsaan.

Ini bukan soal bendera, tapi soal siapa yang berhak menafsir Indonesia dalam panggung budaya bernama Miss Indonesia. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)