Oleh: Johanes E.S. Wato

Pelajaran dari Papua Tengah tentang Keadilan, Hak Ulayat, dan Moralitas Pembangunan.

DI LEMBAH-lembah pegunungan Papua Tengah, masyarakat adat Tsingwarop memandang tanah mereka bukan sekadar sebagai lahan, tetapi sebagai ibu yang hidup. Selama lebih dari setengah abad, tanah itu digali dan dikuras oleh PT Freeport Indonesia. Suara pemilik sahnya hampir tak pernah terdengar dalam keputusan yang menentukan nasib mereka. Kisah Tsingwarop bukan sekadar soal tambang, tetapi cermin dari retaknya pembangunan Indonesia: sebuah pembangunan yang menghasilkan kekayaan luar biasa, namun sering meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat yang seharusnya menjadi pusat dari segala kebijakan. Ketika pembangunan dilakukan tanpa keadilan, ketika hak dasar masyarakat adat diabaikan, maka ia tidak sekadar gagal secara ekonomi, ia menjadi bentuk kekerasan terselubung terhadap mereka yang paling rentan.

”SADAR

Ketika Tanah Leluhur Menjadi Komoditas: Negara yang Menghilang, Korporasi yang Menguasai

Sejak Freeport memulai operasinya di Mimika pada akhir 1960-an, pemerintah pusat hadir lebih sebagai pengatur formalitas hukum daripada pelindung masyarakat. Korporasi besar seperti Freeport-McMoRan, melalui anak perusahaannya PT Freeport Indonesia, menjadi pihak dominan dalam menentukan arah pembangunan. Keputusan strategis sering diambil jauh dari Papua di Jakarta atau bahkan di luar negeri dengan koorporasi besar, tanpa melibatkan masyarakat adat yang memiliki hak ulayat di atas tanah tersebut.

Ketika masyarakat adat melalui Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) yang diketuai Yafet Manga Beanal dan Sekretaris FPHS Yohan Zonggonau menuntut pengakuan atas hak ulayat mereka, mereka justru sering berhadapan dengan birokrasi yang kaku. Perselisihan terbaru dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan ketidakmampuan negara dalam menyelaraskan hukum, hak adat, dan tanggung jawab lingkungan. Isu lingkungan yang seharusnya menjadi ruang dialog moral dan perlindungan, berubah menjadi konflik administratif yang melemahkan posisi masyarakat adat.

Selain itu, masyarakat Tsingwarop menghadapi tantangan komunikasi dan akses informasi. Jarak geografis dan keterbatasan infrastruktur membuat aspirasi mereka tersumbat, sementara keputusan besar tetap dibuat di kota jauh, tanpa konsultasi yang memadai. Inilah contoh nyata bagaimana pembangunan tanpa partisipasi lokal menjadi alat dominasi terselubung.

Kaya di Angka, Miskin di Kenyataan: Ketimpangan Ekonomi dan Sosial di Tanah Sendiri

Kabupaten Mimika kini dikenal sebagai salah satu daerah dengan PDRB tertinggi di Indonesia, mencapai lebih dari Rp 90 triliun pada 2024. Namun di balik angka itu, lebih dari 25% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan yang nyata. Sekolah kekurangan fasilitas memadai, rumah sakit tidak cukup untuk menangani pasien lokal, dan akses terhadap air bersih serta listrik di kampung-kampung yang hanya beberapa kilometer dari tambang megah Freeport tetap menjadi masalah besar.

Setiap hari, masyarakat adat di Papua, khususnya di wilayah operasi PT Freeport seperti Tsingwarop, menyaksikan penerbangan Airfast yang mengangkut karyawan non-Papua dari Timika ke Makassar, Bali, Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan Jakarta. Sementara itu, masyarakat adat hanyalah penonton. Jangankan mendapatkan fasilitas transportasi yang sama, menjadi karyawan PT Freeport Indonesia saja telah menjadi salah satu kesulitan terbesar bagi anak-anak mereka. Ketimpangan ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga simbol eksklusi sosial yang mendalam.