Tanpa Partisipasi Masyarakat Adat, Ketua DAD KAP Mimika Tolak Rencana Pemekaran DOB
“Sejarah Papua dipenuhi dengan konflik akibat pengambilan keputusan tanpa melibatkan pemilik hak ulayat,” kritiknya.
Ia menyebutkan kasus Freeport pada tahun 1967 menjadi pengalaman buruk yang tidak boleh terulang kembali.
“Kami menuntut penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam setiap tahapan proses pemekaran,” katanya.
Berkaitan dengan hal ini Vinsent mendesak Pemerintah Kabupaten Mimika untuk:
- Menyelenggarakan forum konsultasi publik yang inklusif: Melibatkan tokoh adat, perempuan, dan pemuda dari suku Amungme, Kamoro dan Sempan.
- Menerapkan prinsip FPIC: Menjamin partisipasi penuh dan persetujuan informasi yang memadai dari masyarakat adat dalam setiap tahapan kajian DOB.
- Menyusun kebijakan berbasis data sosial budaya dan peta wilayah adat: Memetakan secara akurat wilayah adat untuk menghindari konflik kepemilikan tanah.
- Melibatkan lembaga adat secara formal dalam tim kajian DOB: Memberikan peran dan suara yang setara bagi perwakilan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.
- Menyusun kerangka hukum lokal (Perda): Menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam proses pemekaran.
Sebagai putra daerah, ia mengingatkan bahwa pemekaran DOB tanpa partisipasi masyarakat adat akan mengarah pada delegitimasi kebijakan dan potensi konflik horizontal dan vertikal yang meluas.
Untuk itu, ia menyerukan dialog yang konstruktif antara pemerintah daerah, masyarakat adat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai visi bersama yang berkelanjutan bagi Kabupaten Mimika.
Pemerintah Daerah musti berpikir lebih pada konsep Pancasila sesuai dengan UU 1945.
Dikatakan, bicara Otsus itu bukan soal uang dan program saja. Otsus itu kebijakan khusus untuk memproteksi masyakat adat Papua secara umum dan khusus masyarakat adat Suku Amungme, Suku Kamoro dan Suku Sempan. **

























