Tanah yang Diperkarakan: Bedah Relasi Kuasa dalam Konflik Agraria di Mimika
Oleh : Laurens Minipko
DI MIMIKA, konflik agraria tidak hadir dalam bentuk klasik antara petani dan pemodal, melainkan dalam lanskap yang lebih rumit. Antara masyarakat adat dan pengusaha dengan backingan kekuatan formal dan informal. Tanah ulayat yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi ruang hidup dan roh kosmologi orang Kamoro dan Amungme kini berubah menjadi medan kapling dan kaplingan kekuasaan.
Konflik tanah bukan hanya konflik tentang hak milik, tetapi tentang relasi kuasa. Siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan makna atas tanah, siapa yang dianggap sah, dan siapa yang dianggap penduduk asli atau pendatang? Di balik pagar-pagar seng dan papan nama pemilik yang mendadak muncul di kebun atau halaman rumah warga, tersimpan struktur kuasa yang saling menopang: pengusaha, negara dan preman di satu pihak, dan di pihak lain rakyat pemilik hal ulayat. Esai kecil ini bergerak dari hulu filsafat sosial politik dengna tujuan mengantarkan kita membaca konflik agrarian yang terjadi di Timika akhir-akhir ini.
Kapling dan Kekerasan
Seringkali masyarakat adat baru sadar bahwa tanahnya telah dijual ketika alat berat sudah masuk. Tanpa musyawarah adat, tanpa berita acara, hanya satu dua orang dari keluarga besar yang menandatangani surat pelepasan yang diduga dibuat oleh “notaris bayangan.” Ketika warga protes, mereka dihadapkan pada ancaman kelompok sosial informal dan tindakan oknum aparatur negara, bahkan dikriminalisasi dengan tuduhan “pendatang”.
Kehadiran kelompok sosial informal dalam konflik tanah di Timika adalah gejala privatnya kekerasan. Mereka menjadi kepanjangan tangan dari sistem, menggantikan fungsi negara dalam menata warga di bidang agraria ini. Di sini kita perlu menanyakan kehadiran dan fungsi negara. Ia bisa saja tidak lagi netral. Bila ada di posisi itu, ia berubah menjadi perpanjangan modal, ikut menyiapkan tapak bagi investasi dan proyek infrastruktur yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Dalam kerangka ini, tanah tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup, melainkan sebagai objek ekonomi belaka (komoditas). Orang Papua, khususnya Kamoro dan Amungme di wilayah pesisir dan pegunungan Mimika, dipaksakan oleh “sistem kuasa” agar memisahkan dirinya dari tanah yang sejak lama menyatu dengan tubuh dan rohnya.
Relasi Kuasa dan Bahasa Kekuasaan
Bahasa pun berubah. Kedaulatan atas hak ulayat ditakar dengan indikator OAP setempat atau OAP non setempat. Masyarakat OAP non Kamoro dan Amungme dikategorikan pendatang, yang secara geneologis tidak punya hak atas tanah yang sudah bertahun-tahun dimilikinya, meskipun secara historis mereka lebih dulu ada dan jadi perintis kota. Tanah yang sudah ditanam dan dijaga turun temurun disebut tanah kosong, atau tanah yang sudah beralih tangan. Inilah kekerasan epistemik, di mana pengetahuan lokal disingkirkan oleh logika legal formal dan logika investasi.
Dalam teori Michel Foucault, kuasa tidak hanya hadir dalam bentuk represi, tapi juga dalam produk makna. Siapa yang bisa menyebut tanah itu “milik negara”? Siapa yang dianggap punya “hak bicara”? siapa yang diundang dalam rapat, siapa yang dilabeli provokator? Relasi kuasa membentuk siapa yang sah dan siapa yang bisa diabaikan.
Pembangunan yang Tanpa Dialog
Dalam banyak kasus, pembangunan di Mimika dilakukan tanpa dialog yang terbuka dan partisipatif. Padahal, dialog dan ruang partisipasi semua komponen adat adalah prasyarat moral bagi pembangunan yang adil. Tanpa dialog, proyek menjadi paksaan. Tanpa partisipasi pembangunan menjadi bentuk baru kolonialisme: perampasan dalam nama hukum.
Para pengusaha, sebagian besar bukan orang Mimika, datang dengan dokumen legal, tapi tidak membawa legitimasi sosial yang berakar dari dialog dan meja partisipasi. Mereka punya surat dari kantor distrik, tapi tidak punya restu dari tetua adat. Mereka punya izin dari pemerintah, tapi tidak pernah mendapat persetujuan dari masyarakat yang hidup dan mati bersama tanah ini. Mereka punya izin dari oknum masyarakat adat, tapi tidak pernah melibatkan anggota masyarakat atau kerabat lain.
Dari Penolakan ke Perlawanan
Kini, perlawanan mulai muncul. Di beberapa kampung, warga mulai memagari kembali tanahnya, menolak uang tanda terima kasih, dan menuntut restitusi. Namun perlawanan ini sering tidak diangkat di media, apalagi didukung negara. Yang tampil di berita adalah proyek jalan, bukan kisah tentang mama yang kehilangan dusun sagu; tentang anak-anak yang kini bermain di tepi gudang semen, bukan di kebun yang dulu diwariskan neneknya.
Mimika telah menjadi ladang eksperimen atas model pembangunan tanpa keadilan, yang mengorbankan kearifan lokal dan menguatkan jaringan kolusi antara modal dan aparatut.
Menuju Keadilan Agraria di Mimika
Sudah saatnya kita memikirkan ulang seluruh kerangka pembangunan di tanah Mimika. Tanah bukan komoditas, tapi tubuh sejarah. Ia tidak bisa dijual, hanya bisa diwariskan. Keadilan agraria bukan soal ganti rugi, tapi soal “pengakuan atas hak hidup dan martabat masyarakat adat.”
Diperlukan mekaninsme keadilan restoratif. Lembaga adat independen yang tidak tunduk pada bupati, pengusaha, atau aparatur negara, atau pada premanisme. Kita butuh ruang-ruang dialog sejati di mana masyarakat bisa bicara tanpa takut, dan tanah bisa kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber perkara. Sebab, jika tanah terus diperkarakan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak ulayat tetapi keberlangsungan seluruh peradaban Papua. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)