Manuver dalam Studi Moderen

Dalam ruang publik modern dan studi atasnya, istilah manuver (latin: manu operari: bekerja dengan tangan untuk mengambil posisi unggul) kerap muncul sebagai sinonim dari strategi licin, pergeseran arah, atau upaya mempengaruhi, merebut kembali dan mempertahankan panggung kekuasaan. Namun dalam kaca mata ilmu sosial, ekonomi dan politik moderen, manuver  adalah konsep kompleks yang menyentuh struktur kekuasaan, modal sosial, serta narasi ideologis yang membentuk ruang publik (person dalam relasi sosial).

Ia tidak berdiri sendiri sebagai siasat, melainkan bagian dari pertarungan makna dan dominasi.

Kajian oleh para ilmuwan filsafat, politik, ekonomi telah banyak memberi perhatian pada konsep manuver. Machievelli dalam The Princes, misalnya, membahas konsep manuver dalam bingkai kekuasaan. Ia berpendapat kekuasaan harus dikelola dengan kelicikan dan ketegasan.  Manuver menjadi instrument kekuasaan, bahkan jika harus menipu atau manakuti. Refleksi filosofis yang ia hasilkan dalam konteks ini adalah, ia menginstitusionalisasikan manuver sebagai kebutuhan realpolitik. Dalam gagasannya ini ia menekankan manuver sebagai seni mempertahankan kekuasaan di tengah ketidkpastian politik.

Antonio Gramschi (teori hegemoni) memperluas gagasan manuver ke dalam medan ideologis. Ia membedakan antar war of position (perang posisi) dan war of manuver (perang manuver). Bagi Gramsci, perang manuver adalah serangan langsung dan frontal terhadap kekuasaan yang berkuasa (revolusi adalah strategi unggulan). Ini manuver jangka pendek. Sementara perang posisi dikategorikan sebagai manuver jangka panjang yang dilakukan diranah budaya dan intelektual. Dalam konteks politik kekinian, partai politik bisa menggunakan manuver untuk merespons dominasi kultural dengan membangun basis ideologis alternatif.

Anthony Giddens (Teori Strukturasi: Agen dan Struktur), dalam analisis sosiologis modern, menunjukkan bahwa kekuasaan di masyarakat modern tersebar dalam jaringan lembaga (negara, partai politik, dll), simbol (aktor/pimpinan, bahasa, kampanye), dan struktur sosial. Ia meyakini bahwa perubahan atau manuver untuk perubahan tidak bisa terjadi hanya lewat konfrontasi langsung karena sistem birokrasi  dan legitimasi sosial terlalu kompleks. Oleh karena itu, ia percaya bahwa struktur sosial dan budaya lebih kuat dari sekedar aksi heroik. Di sini hukum menduduki posisi terpenting. Keyakinan Giddens ini lahir dari tesis besarnya yaitu ‘kekuasaan bukan soal siapa yang memegang senjata, tetapi siapa yang menentukan norma’. Jadi, manuver sejatinya dalah tindakan aktor di dalam struktur (lembaga, hukum).

Paham Bourdieu tentang manuver lebih praktis. Ia melihat politik sebagai arena (field) yang dipenuhi aktor yang saling bersaing memperebutkan modal (simbolik, sosial, budaya, ekonomi). Di sana manuver dimaknai sebagai investasi simbolik  untuk menegaskan posisi dan memperkuat legitimasi.  Dalam penerapannya manuver menampakkan wajah dan bentuknya dalam rupa konsolidasi (pemanggilan kader, pernyataan ideologis); mobilisasai (pengumpulan dukungan menjelang pemilu); negosiasi (penundaan program untuk memaksa dialog); dan simbolik (kunjungan pimpinan partai, gestur, penyematan makna historis).

Manuver dari pedang ke habitus

Manuver bukan sekedar tindakan sesaat, tapi proses historis dan sosial yang kompleks. Kita belajar dari manuver pengkhianatan Brutus hingga manuver simbolik Bourdieu, tampak bahwa kuasa tidak hanya dimenangkan dengan pedang, tapi juga dengan wacana, simbol, dan habitus.

Potret manuver Brutus dalam tata kelola pemerintahan kekinian mewujud dalam praktek sikut menyikut, menjatuhkan kawan sendiri dengan dalih moral/etik atau penyelamatan daerah. Dalam perspektif Machievelli, manuver politik dalam ruang birokrasi mengemuka dalam bentuk bagi-bagi jabatan, manipulasi opini publik, hingga kooptasi elit lokal demi mempertahankan kekuasaan.  Kalau kita berdiri pada sudut pandang  Gramsci akan terlihat wajah manuver para elit lokal dalam format politik kebudayaan dan simbolik (ideologis): menggunakan narasi kearifan lokal, agama, hingga isu etnis untuk membangun hegemoni. Narasinya bukan menyerang langsung, tapi membentuk kesadaran seolah-olah tulus.

Giddens menantang kita untuk dengan kesadaran penuh mengarahkan perhatian pada manuver agensi/aktor dalam struktur, misalnya struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang mapan masih mungkin ditembus dengan manuver reflektif seperti  e-budgeting, layanan digital, reformasi ASN, dan seterusnya. Kalau Bourdieu membantu kita memahami mengapa para elit daerah mampu atau bisa langgeng berkuasa (misalnya dua periode atau lebih) karena mereka menguasai modal sosial (jaringan tokoh) modal  budaya (pendidikan, citra intelektual), modal simbolik (karisma, religiusitas), dan tentu modal ekonomi (uang kampanye dan suap). Mereka yang unggul adalah mereka yang paling luwes memainkan habitus sesuai konteks sosial politik setempat. **