Berikuti isi lengkap pernyataan sikap yang dibacakan Vinsent di hadapan Ketua DPRK, Ketua Komisi III dan Kepala Seksi Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Mimika dan Kasdim 1710 Mimika.

Kami, Dewan Adat Papua Daerah (DAD) Mimika, bersama seluruh masyarakat adat Amungme, Kamoro, Sempa dan Masayarakat Adat Papua tujuh 7  wilayah Adat di Mimika menyatakan sikap tegas atas tindakan pelecehan budaya dan penghinaan terhadap identitas leluhur kami melalui pembakaran mahkota adat Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua pada 21 Oktober 2025.

Tindakan pembakaran simbol sakral tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap nilai-nilai adat dan spiritualitas kami, tetapi juga merupakan bentuk nyata dari imperialisme budaya yang selama ini dijalankan oleh aparatur negara di Tanah Papua. Ini adalah bukti kegagalan Otonomi Khusus (OTSUS) dalam menjamin kedaulatan budaya dan hak-hak masyarakat adat Papua.

”SADAR

Kami menilai bahwa tindakan BBKSDA Papua, yang berdalih menegakkan hukum konservasi berdasarkan Permen LHK No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017, telah mengabaikan prinsip-prinsip dasar penghormatan terhadap masyarakat adat sebagaimana dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP 2007).

Vinsent juga menegaskan ia berdiri di hadapan rakyat adat Mimika dan wakil-wakil rakyat di DPRK Mimika, untuk menyampaikan PERNYATAAN SIKAP RESMI masyarakat adat atas tragedi pembakaran mahkota adat Cenderawasih oleh BBKSDA Papua.

  1. Mahkota Cenderawasih adalah simbol spiritual dan identitas leluhur kami.

Ia bukan sekadar benda mati, bukan barang bukti, dan bukan objek hukum positif yang bisa dibakar atas nama regulasi. Mahkota itu adalah warisan suci yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang kami. Ketika negara membakarnya, negara telah membakar harga diri kami, membakar sejarah kami, dan membakar kehormatan kami sebagai orang Papua.

  1. Kami menolak segala bentuk imperialisme budaya yang dijalankan oleh negara melalui aparaturnya. Tindakan BBKSDA adalah puncak dari praktik sistemik yang telah lama kami alami: pengabaian, penindasan, dan pemusnahan nilai-nilai adat demi kepentingan hukum sentralistik yang tidak memahami konteks budaya lokal.
  2. Kami menyatakan bahwa Otonomi Khusus (OTSUS) telah gagal.

OTSUS seharusnya menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Namun kenyataannya, kami masih menjadi korban dari kebijakan yang dibuat tanpa konsultasi, tanpa partisipasi, dan tanpa penghormatan terhadap sistem adat kami.  Kegagalan OTSUS juga tercermin dari tidak konsistennya negara, termasuk pemerintah daerah, dalam mengakui dan melindungi eksistensi masyarakat adat sebagai subjek hukum yang sah. Hingga hari ini, belum ada regulasi daerah yang secara tegas dan operasional melindungi hak-hak adat masyarakat Amungme, Kamoro, dan Sempan sebagai pemilik sah wilayah adat di Kabupaten Mimika. Ini adalah bentuk pengabaian sistemik terhadap prinsip keadilan sosial dan kedaulatan adat.

  1. Kami menuntut :  a. Permintaan maaf resmi dari Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), atas pembakaran mahkota adat Cenderawasih. b. Pencopotan Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakan yang melukai masyarakat adat. c. Revisi segera terhadap Permen LHK No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017, dengan menambahkan klausul perlindungan terhadap benda-benda adat dan simbol budaya masyarakat hukum adat. d. Penguatan peran Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representatif orang asli Papua dalam setiap kebijakan yang menyentuh hak-hak adat. e. Ratifikasi Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 tentang Masyarakat Adat dan Suku Bangsa sebagai bentuk komitmen negara terhadap hak-hak masyarakat adat secara internasional.
  2. Kami secara tegas meminta DPRK Mimika untuk segera menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Masyarakat Adat, khususnya bagi suku Amungme, Kamoro, dan Sempan yang mendiami wilayah administratif Kabupaten Mimika. Perda ini harus menjamin pengakuan hak atas tanah ulayat, perlindungan terhadap simbol budaya, serta partisipasi penuh masyarakat adat dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan publik di tingkat daerah.

Kami bukan objek pembangunan. Kami adalah subjek yang memiliki hak untuk menentukan masa depan kami sendiri, sesuai dengan nilai-nilai adat dan kearifan lokal kami.

Kami, masyarakat adat Mimika, tidak akan tinggal diam. Kami akan terus bersuara, berdiri tegak, dan melawan setiap bentuk penghinaan terhadap adat dan budaya kami. Kami tidak menolak hukum, tetapi kami menolak hukum yang membunuh identitas kami.

Kami bukan musuh negara. Tapi kami juga bukan budak dari hukum yang tidak mengenal adat.  Papua bukan tanah kosong. Papua adalah tanah adat. Cenderawasih bukan barang bukti. Ia adalah mahkota kehormatan. Kami bukan penjajah. Kami adalah pemilik tanah ini.

Hidup masyarakat adat!

Hidup Papua!

Hidup keadilan!

Pernyataan sikap ini dengan tembusan:

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( KLHK ) di Jakarta
  2. Kementerian Dalam Negeri dan Otda di Jakarta
  3. KEMENTERIAN Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta
  4. Gubernur Papua Tengah
  5. Kapolda Papua Tengah
  6. MRP Papua Tengah
  7. DPRP Papua Tengah
  8. Bupati Mimika
  9. OMBUDSMAN RI Perwakilan Papua
  10. Arsip . **