Apakah adat yang kita warisi masih melindungi kehidupan bersama, atau telah menjadi pagar yang membatasi akses bagi yang lemah?

Budaya bukanlah batu mati. Ia bisa dibaca ulang, ditafsir ulang, dan diarahkan menuju keadilan. Kritik bukanlah peluru yang menyerang, tapi jendela untuk melihat bahwa mungkin hanya mungkin apa yang kita anggap wajar selama ini justru menyakiti banyak orang, terutama mereka yang diam, atau didiamkan. Kalau kita ingin menciptakan Mimika yang adil, kita perlu mulai dari hal yang paling dasar. Membuka ruang bagi yang selama ini disingkirkan. Dan itu berarti menghadapi kenyataan bahwa nepotisme telah menjadi tembok yang membatasi mimpi banyak orang Papua.

Berikut beberapa langkah kecil yang bisa kita prakarsai bersama:

1. Transparansi dalam distribusi dana publik.

Dana kampung dan dana Otsus harus dikelola secara terbuka dan partisipatif. Harus ada pelibatan nyata, terutama dari perempuan Papua dan kelompok marginal, dalam musyawarah pengambilan keputusan.

2. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.

Struktur kampung, distrik, hingga OPD kabupaten mesti memberikan ruang afirmasi bagi perempuan Papua. Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai pengarah kebijakan pembangunan.

3. Aturan etis melawan konflik kepentingan.

Kita butuh kesepakatan bersama baik dalam aturan adat maupun hukum formal yang melarang praktik penunjukkan kerabat untuk jabatan strategis tanpa proses terbuka dan adil.

4. Pendidikan kritis di kampung dan sekolah.

Generasi muda Papua (Mimika) perlu diberi keberanian untuk berpikir kritis, untuk bertanya dengan logis, untuk menyuarakan gagasan dengan runut, dan menulis tentang ketidakadilan. Ini bukan soal memberontak, tapi soal mencintai tanah, adat istiadat, budaya postmodern dengan akal sehat dan nalar keadilan.

Suara hati yang terus ditulis

Kami yang menulis dari pinggir Tapare ini tidak punya panggung besar. Tapi kami punya pena, pengalaman, dan gelora yang jujur. Kami menulis karena kami tahu. Kalau tidak ada yang bersuara, maka suara yang terhapus akan lenyap selamanya.

Kami menulis karena kami percaya. Adat sejati tidak pernah melindungi ketidakadilan. Ia melindungi kehidupan. Dan untuk melindungi kehidupan, kita harus berani jujur pada diri sendiri, pada sistem yang kita jalani, dan pada budaya yang kita warisi. Nepotisme mungkin masih dianggap biasa. Tapi jika ia membuat mama-mama Papua tidak bisa bicara, tidak bisa memutuskan, dan tidak bisa hidup layak, maka kita sebagai makhluk sosial punya kewajiban untuk berkata: SUDAH CUKUP. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)