Mengisi Masa Tobat 40 Hari, Umat Katolik Keuskupan Timika akan Refleksikan ‘Pertobatan Ekologis’
Perlu diketahui keadaan rusaknya lingkungan dan bumi sebagai rumah kita sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan, melainkan karena dosa yang mewujud pada keserakahan dan keegoisan akut manusia.
Manusia melawan Tuhan; manusia tidak taat pada perintah Tuhan, bumi yang disediakan Allah untuk kehidupan seluruh generasi umat manusia dieksploitasi dengan serampangan di setiap zamannya, tanpa memikirkan kehidupan di masa-masa mendatang.
Saat ini, eksploitasi sumber-sumber kehidupan rasanya amat tergesa-gesa dan serba cepat dilakukan kebanyakan orang.
Dalam ensikliknya, Laudato Si, Paus Fransiskus menanggapi situasi rusaknya alam ciptaan dengan mengemukakan bahwa krisis spiritual dan agama yang mendalam akibat keserakahan adalah keadaan manusia zaman kini yang melatarbelakangi adanya krisis ekologis.
Kerusakan akut yang terlihat di tanah, air, udara dan segala bentuk kehidupan merupakan ungkapan sikap serakah yang terolah dalam hati manusia (bdk. LS, 2).
Paus menyoroti fakta yang terabaikan bahwa manusia adalah bagian integral dari sistem bumi dan sekarang secara kolektif menentukan masa depannya.
Paus mengajak dunia untuk segera terlibat dalam dialog yang jujur tentang bagaimana kita akan membangun masa depan planet ini.
Masa Prapaskah mempunyai ciri tobat. Terhadap kondisi pribadi dan komunitas yang menyebabkan kerusakan ekologis, kita dipanggil untuk mengembalikan dan memulikan relasi dengan Tuhan Sang Pencipta, dengan diri kita sebagai Citra Allah dan dengan sesama dan ciptaan lain yang dianugerahkan kepada kita di masa tobat ini.
Setiap umat kristiani diarahkan untuk menekan keserakahan dan keegoisan akutnya terhadap alam ciptaan, dengan membangun kesabaran dalam ‘mengambil’ dari alam ciptaan.
Kesabaran tersebut menggerakan orang masuk ke kedalaman relasi dengan Tuhan dan alam ciptaan lainnya, sehingga orang akan sampai pada kekaguman terhadap proses-proses natural yang terjadi pada setiap alam ciptaan.
Jiika kekaguman terhadap karya ciptaan Tuhan sebagai buah dari nilai kesabaran yang tumbuh dalam diri menghantarkan kita sama seperti Santo Fransiskus dari Asisi yang di dalam ‘Canticle of the Creatures’ (Kidung Para Makhluk) memandang semua ciptaan sebagai sebuah keluarga besar; matahari disebut sebagai “saudara laki-lakinya” dan bulan sebagai “saudari perempuannya”.
Pemahaman baru atas nilai kesabaran dari Santo Fransiskus yang terbukti bermanfaat bagi diri kita sendiri dan orang lain di hari ini, di masa mendatang tetap lestari berkat pertobatan ekologis yang terus menerus kita bangun.
Sebagai bahan refleksi, bahwa dalam diri manusia, Allah telah melengkapinya dengan kemampuan istimewa, yakni kemampuan untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan-Nya.
Pertanyaan refleksinya, apakah tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikan alam ciptaan melekat pada seluruh umat manusia ataukah hanya sekelompok orang saja?
Apa saja hal konkret yang dapat dilakukan oleh manusia untuk memelihara keutuhan alam ciptaan?
Umat setelah mendalami ini harus mempunyai aksi nyata untuk mencapai budaya ekologis. Terdapat beberapa kegiatan alternatif yang dapat dilakukan:
1. Dengan tekun memilah sampah dan menjadikan sampah sebagai pupuk, media tanam atau bahan eco enzim.
2. Pendidikan nilai untuk ekologi tubuh dengan berkatekese bahwa tubuh kita butuh asupan yang sehat dan mengurangi zat-zat kimia sintetis dan mempromosikan asupan lokal yang sehat mengingat tubuh manusia diciptakan Allah baik adanya.
3. Gerakan peduli lingkungan: misalnya membuat silih bahwa selama masa prapaskah baik pribadi atau kelompok memperhatikan lingkungan sekitar kita: gerakan sehari tanam mangrove sebatang untuk umat yang tinggal di sekitar pantai; gerakan penghijauan tanah paroki atau stasi yang nganggur, dsb.
4. Pola pertanian yang menerapkan budaya sabat dengan keanekaragaman tidak terus menerus menyiksa tanah dengan satu jenis tanaman. (Bersambung)