Oleh : Laurens Minipko (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

Di tengah geliat pembangunan di Kabupaten Mimika yang masih merangkak, munculah satu fenomena yang mengundang gelombang reaksi sosial atas kehadiran aplikasi transportasi daring Maxim di Kota Timika. Di satu sisi, ia menjanjikan kemudahan, kecepatan, dan harga murah. Namun di sisi lain, ia menciptakan kecemasan struktural di kalangan sopir rental, sopir angkot dan ojek konvensional yang sudah lama menjadi tulang punggung mobilitas rakyat kecil.

Teknologi dan Rasa Takut Kehilangan

”SADAR

Ekspansi Maxim bukan sekadar soal digitalisasi transportasi. Ia adalah simbol dari masuknya logika pasar digital ke dalam ruang-ruang hidup masyarakat pinggiran, tempat dimana infrastruktur belum merata dan relasi sosial masih dibangun di atas jaringan kepercayaan (pengendara dan penumpang, bukan algoritma (teknologi digital). Kehadiran Maxim telah menggeser orientasi ekonomi transportasi lokal dari sistem berbasis komunitas ke arah model individualistis dan platform-sentris.

Pada pertengahan 2024 Aliansi Solidaritas Mobil Rental Timika (ASMRT) dengan cepat membaca ancaman ini. Mereka bukan anti-kemajuan. Mereka anti terhadap ketimpangan struktural yang diciptakan oleh ketidaksiapan regulasi negara. Dalam diskusi yang difasilitas DPRD Mimika, para sopir menyampaikan keresahan atas persaingan yang tidak adil, tarif yang ditekan semurah mungkin oleh aplikasi, serta ancaman kehilangan mata pencaharian.

Negara dan Kegagapan Regulatif

Masalah ini pada dasarnya mencerminkan kegagapan negara dalam merespons transformasi ekonomi digital. Pemerintah lokal seperti kebingungan. Apakah akan mengikuti arus inovasi digital global atau melindungi ekonomi karakyatan yang sudah lama bertahan di tengah keterbatasan. Tidak adanya regulasi transportasi daring yang kontekstual di Kabupaten Mimika membuat para sopir, tukang ojek seolah tidakk punya pelindung hukum.

Pada akhirnya, DPRD Mimika (13 Juni 2024) memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan perwakilan ASMRT dan sejumlah institusi terkait yang berbuah kesepakatan bersama. Namun itu baru langkah awal. Tantangan berikutnya adalah bagaimana mendesain regulasi yang adil, regulasi yang tidak semata-mata mengusir Maxim, tetapi mengatur agar tidak mematikan ekonomi rakyat. Harus ada keberpihakan pada keadilan struktural, bukan semata kompetisi bebas yang sering kali hanya menguntungkan pemodal.