Lukas Enembe: Di Wajahmu Ku Renung Luka
Pada Januari 2023, LE ditangkap olek Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tuduhan utamanya, menerima gratifikasi dan suap senilai lebih dari Rp. 45 miliar. Publik gempar. Bukan hanya karena nominalnya, tapi karena figur Lukas selama ini dianggap sebagai perpanjangan lidah rakyat Papua yang berani “melawan” Jakarta. Namun, pertanyaan kritis segera bermunculan. Mengapa baru sekarang? Mengapa setelah sekian tahun laporan BPK menunjukkan penyimpangan anggaran, baru kali ini negara bersikap tegas? Apakah penegakan hukum ini murni, atau ada dimensi politik yang membayangi?
Beberapa aktivis dan akademisi Papua mencium aroma yang lebih dalam. Penangkapan Lukas bukan hanya soal korupsi, tapi juga tentang pengendalian kuasa politik di Papua. Lukas yang keras kepala terhadap pusat, yang menyuarakan “referendum secara implisit”, dan yang punya jaringan politik lokal yang kuat, dilihat sebagai aktor yang sulit dikendalikan. Maka, ketika ia jatuh, ia bukan hanya tersangka hukum. Lebih dari itu. Ia adalah pesan itu sendiri. Pesan simbolik dari negara kepada elite Papua lainnya: “JANGAN MELAMPAUI BATAS.”
Lukas Enembe adalah simbol itu sendiri, sekali lagi. Simbol tentang bagaimana negara menerapkan wajah setengah demokrasi pada pejabat yang menduduki kursi panas 01 Papua. Penegakan hukum yang selektif untuk mendapatkan dan menguasai peta kuasa.
Dalam tubuh Lukas, politik dan hukum bertemu. Tubuhnya yang lemah, sakit stroke, terguncang di ruang tahanan dan perawatan, hingga wafatnya sungguh menjadi metafora telanjang dari kondisi kekuasaan lokal Papua hari ini. Pernah kuat, kini rapuh; pernah disanjung, kini dipermalukan. TIDAK PEDULI SIAPA PUN DIA, BAIK YANG SUDAH MENJABAT, MAUPUN YANG AKAN MENJABAT. TIDAK PEDULI SIAPAPUN DIA, BAIK TABI MAUPUN BUKAN TABI, ATAU WILAYAH ADAT LAINNYA.
Embun yang Mengering atau Nalar yang Menetes Terus?
Kini saat kabut kekuasaan mulai tersingkap, saat tubuh Lukas Enembe terbaring kaku membisu di balik pusara, rakyat Papua masih menunggu transparansi dari para penerusnya. Oleh karena itu, kita patut bertanya. Apakah embun nalar yang tadi menetes di jidat kesadaran kita akan segera mengering, ataukah ia akan terus mengalir menjadi kesadaran kolektif.
Lukas Enembe mungkin bukan yang pertama dan bukan yang terakhir. Ia hanya satu nama dalam daftar panjang pemimpin yang naik karena harapan rakyat, namun jatuh karena jebakan sistem yang tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Tapi kita, sebagai rakyat, punya pilihan:
Terus Menumpuk Harapan pada Nama-nama Besar berikutnya Atau
Mulai menanam nalar dalam ruang-ruang kecil. Di dapur tanah beratap jerami, di kampung, di lapak pasar, di ruang kelas, di media lokal, agar kekuasaan tidak lagi berjarak, dan simbol tidak lagi membungkam kritik.
Dalam hening terpaan angin laut dari cela-cela lengkungan Jembatan Merah, di pasar kecil di Entrop, atau di balik rumah-rumah warga yang memandang nama Lukas lewat televisi atau baliho yang masih terpampang, nalar rakyat sedang diuji. Apakah luka ini akan membuat kita lupa, atau justru membuka kesadaran baru?
Dan generasi Papua hari ini sedang berdiri di persimpangan. Lukas sudah berlalu. Tapi pertanyaannya tetap tinggal. Siapa yang benar-benar bicara untuk rakyat Papua, dan siapa yang sedang menyiapkan panggung untuk dirinya sendiri? Di akhir tulisan ini, di ruang sadar kita Frantz Fanon mengajarkan kita bahwa “Setiap generasi harus menemukan misinya, mengisinya atau mengkhianatinya.” (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

































