Menurutnya, sebagai anak muda Papua Tengah, khususnya AMKI harus mulai berpikir lebih  dengan melayangkan ‘surat cinta’ gerakan sosial memprotes kebijakan negara yang tidak memihak kepada kemanusiaan pribumi.

Surat cinta ini mempertanyakan mengapa pelanggaran HAM di Papua dan ketidakadilan terus terjadi di negeri ini. Mengapa menempatkan militer secara masif, sistimatis dan terstruktur masih berlangsung. Saat ini gereja, sekolah, balai kampung sudah dikuasai militer.

“Sangat prihatin masyarakat hidup dalam kondisi ketakutan. Kami harus protes terhadap negara yang melakukan pendekatan militeristik membuat masyarakat trauma,” tegasnya.

”MTQ

AMKI se Papua Tengah sementara berpikir membuat aksi mimbar bebas dalam gerakan sosial memprotes kebijakan negara dengan cara mengumpulkan surat. Isi surat itu ditulis dengan bahasa dan gaya mereka sendiri mengarah pada satu hal terkait pelanggaran HAM sejak 1963 hingga sekarang terus terjadi, meminta hentikan distribusi militer di Papua secara masih dan ketidakadilan serta tindakan marginalisasi terhadap pribumi. Surat ini diserahkan kepada Presiden melalui Menteri HAM di Jakarta, dengan tembusan kepada DPRPT dan MRP PT dan Gubernur Papua Tengah.

“Kita minta DPR Papua Tengah fasilitasi untuk audiens bersama Menteri HAM. Kalau kita sudah serahkan surat ke Menteri HAM kita anggap presiden juga sudah tahu,” katanya.

Dikatakan, sesuai catatan Komnasham terdapat 113 kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Tetapi belum ada satupun diselesaikan. Dari seluruh wilayah Papua, tiga daerah di Papua Tengah paling menonjol kasus pelanggaran ada di Puncak, Intan Jaya dan Puncak Jaya.  **