Apa yang terjadi di MRP-PPT adalah contoh nyata dari “delegitimasi representasi kultural” yang sudah lama dikritik oleh pemikir decolonial seperti Linda Tuhiwai Smith. Menurut Linda, lembaga-lembaga adat yang lahir dari desain negara modern seringkali tidak lagi mencerminkan suara komunitas, melainkan justru terseret dalam struktur birokrasi yang menjinakkan fungsi kritis.

Dalam konteks Papua, MRP seharusnya menjadi lawan wacana kekuasaan negara. Tapi terbalik, lembaga itu malah sibuk dengan urusan DPA, uang reses, dan keputusan sepihak. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan. Maka tidak heran jika kritik itu mengemuka dalam wujud demo yang ironisnya datang dari dalam lembaga sendiri.

Krisis ini adalah cermin yang retak

Kita sedang menyaksikan retaknya cermin representasi dalam tubuh Otsus itu sendiri. Ketika lembaga yang mengklaim berbicara atas nama budaya tidak lagi dipercaya oleh internalnya, dan ketika dana afirmatif justru menjadi tali kendali, maka kita sedang melihat kontradiksi struktural Otsus: “Ia menjanjikan pembebasan, tapi dibangun dalam kerangka pengawasan.”

Seperti dikatakan James Scott, dalam sistem kuasa modern, sering kali resistensi muncul dalam bentuk “senyap”. Palang, absen, bisik-bisik, penolakan administratif. Itulah yang kini terjadi di MRP Papua Tengah.

Kantor MRP dipalang bukan sekadar konflik internal. Ia adalah simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga representatif adat yang tersandra oleh logika birokrasi negara. Jika lembaga seperti MRP pun tidak bisa mengatur anggarannya sendiri, bagaimana mungkin ia menyuarakan kepentingan rakyat yang terepresentasi di sana?

Dan jika Dana Otonomi Khusus hanya digunakan dalam batas-batas nomenklatur teknokratis, bisakah kita menyebutnya OTONOMI?

Kita perlu membongkar ulang relasi antara rakyat, representasi budaya, dan negara. Jika tidak, Otsus akan terus menjadi proyek tanpa jiwa, sementara rakyat dan wakilnya saling memalang dalam sunyi. ** (Isi tulisan tanggung jawab penulis)