Oleh : Laurens Minipko

DI JANTUNG Kota Nabire, Papua Tengah, sebuah pemandangan ganjil terpampang. Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP-PPT) dipalang oleh anggota-anggotanya sendiri. Sebuah spanduk merah menyala menggantung di depan pintu masuk, memuat daftar panjang tuntutanbukan dari luar, bukan dari masyarakat, tapi dari mereka yang duduk di dalam lembaga itu sendiri.

Di antara isi tuntutan itu tertulis: “DPA tidak pernah diberikan kepada anggota,” “uang reses tahun 2024 tidak dibayarkan,” dan “ketua bekerja tanpa DPA selama dua tahun.”

”SADAR

Suara-suara ini bukan sekadar keluhan administratif. Ia adalah gema dari sebuah krisis yang lebih dalam, krisis legitimasi lembaga representatif adat dalam tubuh otonomi khusus. MRP, yang seharusnya menjadi simbol suara budaya dan penjaga nilai-nilai orang asli Papua, kini menjadi cermin retak dari konflik internal dan disfungsi struktural. Mereka yang dimandatkan untuk berbicara atas nama masyarakat adat justru terjerat dalam pertarungan anggaran, jadwal kegiatan yang yang tidak mampu diwujudkan, dan kepemimpinan yang dinilai sepihak.

Dana Otsus dan nomenklatur kuasa

Dalam sistem anggaran negara, Dana Otonomi Khusus (Otsus) bukanlah hibah. Ia adalah transfer fiskal dengan status kekhususan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21/2021 dan revisinya dalam UU No. 2/2021. Namun, kekhususan itu dikawal oleh nomenklatur ketat yang dirancang di pusat. Dana Otsus hanya bisa digunakan untuk bidang-bidang tertentu. Pendidikan, Kesehatan, infrastruktur dasar, ekonomi, rakyat, dan perlindungan sosial. Bahkan lembaga seperti MRP tidak punya keleluasaan penuh mengatur anggarannya sendiri.

Dalam pandangan Michel Foucault, ini adalah bentuk dari “governmentality”- pemerintahan tidak lagi hadir lewat larangan langsung, tapi lewat pengaturan teknis yang membentuk subjek. Melalui nomenklatur, negara memproduksi kepatuhan MRP tidak dilarang bicara, tapi dibungkam lewat ketentuan anggaran yang memagari ruang geraknya. Dana Otsus menjadi alat kendali terselubung. Di permukaan, ia tampak sebagai afirmasi politik, tetapi dalam struktur teknokratis, ia berfungsi sebagai dispositif kekuasaan (dispositive du pouvoir-Foucault) yang berarti mesin kekuasaan yang kompleks dan tersembunyi. Ia berwenang mengatur siapa yang boleh mengakses dan bagaimana ia boleh dibelanjakan, dan siapa yang berhak menentukan prioritas.

Representasi budaya yang terkikis