Ketika Ormas Menjamur, Siapa yang Tumbuh Subur
1. Ormas Adat: Antara Representasi dan Kooptasi.
Ormas berbasis adat kerap tampil sebagai aktor paling awal dalam forum-forum publik, terutama yang menyangkut urusan lahan dan kompensasi sosial dari perusahaan tambang. Namun dalam praktiknya, Ormas adat ini kerap dihadapkan pada dilema antara representasi murni komunitas dan kooptasi kepentingan elite.
• Distribusi kuasa dalam Ormas adat seringkali ditentukan oleh kedekatan dengan pemerintah daerah atau perusahaan, bukan hasil musyawarah komunitas adat.
• Beberaapa Ormas adat bahkan membentuk faksi internal (ragam varian Lembaga Adat) berdasarkan kontrak kerja, bukan silsilah kultural.
Dalam kacamata Foucault, ini adalah bentuk disiplin simbolik dimana kuasa perusahaan membentuk ulang identitas adat agar sesuai dengan logika industri.
2. Ormas Pemuda: Ruang Aspirasi atau Biro Jasa Politik?
Di atas kertas, Ormas pemuda hadir untuk menyalurkan semangat generasi muda. Namun di Mimika, sebagian besar Ormas pemuda beroperasi seperti biro jasa politik. Melobi proyek, menjaga kepentingan partai, hingga menjadi “pengaman” informal acara elite.
• Ada Ormas yang mendukung calon kepala daerah hanya bermodal “massa” dan “atribut pemuda.”
• Beberapa Ormas mengajukan proposal kegiatan atau seremonial demi mendapat dana hibah.
• Di lain sisi, segelintir pemuda kritis justru disingkirkan karena tidak sejalan.
Dalam kerangka Gramsci, ini adalah bentuk kompromi hegemonik. Elite memberikan sedikit ruang dan anggaran, dengan syarat bahwa pemuda berhenti bersuara kritis.
3. Ormas Wilayah dan Kedaerahan: Solidaritas atau Sektoralisme?
Tidak sedikit Ormas di Mimika lahir atas nama wilayah asal Ormas suku X, kerukunan Y, paguyuban Z. Di satu sisi, ini adalah wujud solidaritas diaspora. Tapi di sisi lain, praktiknya justru memperkuat sektoralisme dan fragmentasi sosial.
• Dukungan politik sering dibagi berdasarkan asal daerah ketua Ormas.
• Akses ke bantuan sosial, proyek, bahkan rekrutmen CPNS dapat difasilitasi lewat jaringan Ormas kedaerahan.
• Hubungan antar kelompok menjadi kompetisi, bukan kolaborasi.
Di sini, Bourdeu menolong kita melihat bahwa modal sosial kedaerahan ditransformasikan menjadi modal politik dan akses ekonomi. Ormas wilayah menjadi tangga sosial bagi segelintir elite, lebih besar wilayahnya daripada sebagai alat emansipasi kolektif.
4. Ormas Keagamaan: Spiritualitas yang Dijinakkan Kuasa
Ormas keagamaan di Mimika juga memainkan peran strategis. Namun tidak semua berdiri dalam garis profetik. Ada yang cenderung mengikuti arah angin politik dan bersedia menjinakkan kritik atas nama kerukunan.
• Beberapa tokoh agama menjadi juru bicara pemerintah atau perusahaan dalam konflik informal.
• Kritik sosial dan suara kenabian disingkirkan demi menjaga hubungan baik dengan elit politik.
Nalar Foucault kembali relevan di sini, yakni agama tidak kebal dari kuasa. Ia juga bisa menjadi alat normalisasi wacana, bukan penggugah kesadaran.
Dari keempat modal Ormas di atas, kita melihat satu pola yang sama. Kuasa bekerja melalui representasi. Bukan siapa yang punya suara, tapi siapa yang diakui bisa mewakili suara, itulah yang punya kuasa. Maka Ormas di Mimika seringkali lebih berfungsi sebagai mekanisme distribusi legitimasi dan sumber daya, ketimbang sebagai pengawal kebenaran sosial. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

































