Ketika Ormas Menjamur, Siapa yang Tumbuh Subur
Oleh : Laurens Minipko
DI TANAH Mimika, tempat nalar adat bertemu kepentingan tambang dan birokrasi pemerintahan, menjamurlah Organisasi Masyarakat (Ormas) laksana jamur di musim hujan pasca Pilkada. Tiap sudut kota dan kampung kini mengenal nama-nama Ormas. Ada yang membawa identitas adat, ada yang tampil atas nama pemuda, dan ada pula yang mengatasnamakan agama, wilayah, atau komunitas profesi.
Fenomena ini, pada satu sisi, memberi harapan akan tumbuhnya partisipasi warga dalam ruang publik.
Namun di sisi lain, menyisahkan pertanyaan yang tidak mudah jawab. Mengapa begitu banyak Ormas tumbuh dalam waktu singkat, dan siapa sebenarnya yang tumbuh subur di baliknya?
Ormas semestinya menjadi jembatan antara masyarakat dan negara, antara aspirasi dan kebijakan. Namun di Mimika, jembatan ini kerap dibangun bukan dengan tiang kepercayaan, melainkan dengan balok-balok kuasa dan kepentingan. Beberapa Ormas tampil sebagai representasi masyarakat adat, namun dalam praktiknya lebih dekat dengan kekuasaan formal dan anggaran proyek. Tidak jarang pula Ormas bertransformasi menjadi alat legitimasi elit lokal menjelang dan pasca pemilihan kepala daerah, dan untuk kepentingan distribusi dana hibah.
Lebih dari sekadar wadah, Ormas hari ini telah menjadi arena produksi dan pertarungan kuasa. Ia menyimpan relasi kompleks antara negara, masyarakat, perusahaan, dan elite lokal. Dalam kondisi semacam itu, menjamurnya Ormas bukanlah fenomena netral. Ia adalah cermin dari lanskap kuasa yang sedang dinegosiasikan, dipertarungkan, bahkan dimanipulasi.
Mimika bukan hanya ladang emas dan tembaga, tetapi juga ladang simbol, status, dan legitimasi. Dan Ormas menjadi salah satu alat panen yang paling strategis.
Membaca Ormas dengan Lensa Kritis (Foucault, Gramsci dan Bourdieu)
Dalam masyarakat yang tengah mengalami tekanan pembangunan, marginalisasi, dan perebutan sumber daya seperti Mimika, Ormas menjadi lebih dari sekadar organisasi. Ia adalah medan di mana berbagai bentuk kuasa bertemu, bertabrakan, dan berkompromi. Untuk memahami ini, kita perlu mengandalkan sejumlah pemikir besar yang telah lebih dulu membaca kuasa bukan sebagai struktur tunggal, melainkan sebagai jaringan yang halus namun efektif.
1. Michel Foucault: Kuasa sebagai Jaringan Wacana dan Praktik
Foucault mengajarkan bahwa kuasa tidak hanya bekerja dari atas ke bawah (negara ke rakyat) , tapi juga hadir dalam praktik sehari-hari, dalam diskursus, dan dalam organisai sosial seperti Ormas. Dalam perspektif Foucault, Ormas di Mimika bukan sekadar lembaga, melainkan ruang produksi wacana. Siapa yang berhak berbicara atas nama rakyat, siapa yang didefinisikan sebagai “masyarakat adat”, dan siapa yang diakui negara atau korporasi. Bagi Foucault, kuasa tidak dimiliki, melainkan dijalankan.
Ormas yang mampu menguasai wacana, misalnya, sebagai “perwakilan resmi masyarakat asli, suku, kedaerahan mendapat tempat di forum-forum formal, dana hibah, bahkan akses langsung ke ruang negosiasi tambang. Maka kuasa berjalan bukan lewat senjata, tapi lewat simbol dan bahasa.
2. Antonio Gramsci: Hegemoni dan Ormas sebagai Kompromi Kekuasaan
Gramsci melihat organisasi sipil (termasuk Ormas) sebagai bagian dari masyarakat sipil yang dapat menjadi hegemonik. Hegemoni adalah situasi ketika suatu kelompok dominan mampu membentuk kesepakatan sosial dan moral, sehingga kekuasaannya diterima seolah wajar.
Di Mimika, Ormas yang “dikuasai” oleh “elit politik” atau “birokrasi” seringkali tidak memaksakan kuasa secara kasar melainkan mengelola persetujuan masyarakat melalui simbol adat, agama, dan narasi kebangsaan. Inilah yang disebut Gramsci sebagai kompromi yang memantapkan dominasi. Ormas bukan lagi penantang kuasa, melainkan perpanjangan tangan dari sistem dominan.
3. Pierre Bourdieu: Modal Sosial, Simbolik, dan Ormas sebagai Arena
Bourdieu menyumbangkan konsep modal simbolik, yakni kekuasaan yang diperoleh melalui pengakuan sosial. Di Mimika, posisi sebagai “Ketua Ormas” bisa menjadi modal simbolik yang sangat kuat. Ia membuka akses ke pejabat, proyek, dan media. Bahkan tanpa jabatan formal, pemimpin Ormas bisa memiliki pengaruh lebih besar dari kepala kampung atau lurah.
Selain itu, Ormas juga menjadi arena tempat berbagai aktor bertarung menggunakan berbagai modal. Ekonomi (uang dan proyek), sosial (jaringan), budaya (pendidikan, bahasa), dan simbolik (gelar adat, legitimasi agama).
Dengan ketiga pisau analisis ini, kita bisa memahami bahwa Ormas di Mimika bukan hanya fenomena sosial biasa. Ia adalah produk dari relasi kuasa yang kompleks, berlapis dan terus berubah. Maka analisis kita selanjutnya bukan hanya akan membahas Ormas sebagai organisasi, tetapi juga sebagai medan wacana, arena dominasi, dan alat legitimasi.
Ormas dan Distribusi Kuasa
Mimika bukan sekadar wilayah administratif, ia adalah medan konflik laten antara sumber daya, identitas, dan legitimasi. Dalam konteks ini, Ormas menjadi perantara sekaligus pemain dalam perebutan kuasa. Di bawah ini kita uraikan beberapa corak Ormas yang dominan di Mimika, disertai praktik distribusi yang menyertainya.

























