Undang-Undang 5 Tahun 1974 ini memberi rumusan yang terang benderang tentang konsep otonomi daerah dan APBD. Rumusan tentang pengertian Otonomi Daerah dituangkan dalam  pasal  7:

“Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Meskipun tidak terdapat penjelasan khusus untuk Pasal 7 dalam bagian “penjelasan Pasal Demi Pasal” UU No. 5 Tahun 1974, namun pemahaman terhadap pasal ini dapat diambil dari Penjelasan umum undang-undang tersebut. Pasal tersebut mencakup tiga hal pokok yaitu

  1. Hak dan Kewenangan Daerah. Pada hal ini daerah memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
  2. Kewajiban Daerah. Pada hal ini daerah juga berkewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Keterbatasan Otonomi. Pada hal ini meskipun daerah diberikan otonomi, pelaksanaannya dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan pengawasan dari pemerintah pusat.

Secara garis besar Bab III tentang Daerah Otonom (pasal 3-27) mengatur pembentukan, susunan, dan wewenang daerah tingkat I dan II, termasuk di dalamnya;

”MTQ
  1. Pembentukan Daerah berdasarkan syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas wilayah, pertahanan dan keamanan nasional.
  2. Kepala Daerah. Bahwa kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, bukan melalui pemilihan langsung
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki fungsi legislasi dan pengawasan, namun dalam prakteknya terbatas.

Di samping pembagian wilayah otonom, pasal 55 sampai pasal 64 mengatur tentang keuangan daerah. Pasal 55, misalnya, mengatur tentang sumber-sumber pendapatan yang dapat dimiliki oleh daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah meliputi: 1. PAD (hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan); 2. Bantuan dari Pemerintah Pusat (Subsidi); 3. Sumber pendapatan lain yang sah.

Meskipun daerah diberikan kewenangan untuk mengelola pendapatan sendiri, namun dalam prakteknya, otonomi fiskal daerah sangat terbatas. Ketergantungan pada pemerintah pusat tetap tinggi, dan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri masih rendah. Dalam konteks itu selama masa Orde Baru pengelolaan keuangan daerah berada di bawah pengawasan ketat pemerintah pusat, terutama melalui Kementrian Dalam Negeri. Hal ini mencerminkan pendekatan sentralistik dalam pengelolaan keuangan daerah.

Pasal 56 mengatur tentang Penyerahan Pajak negara kepada daerah. Pasal ini menyatakan bahwa dengan undang-undang, suatu pajak negara dapat diserahkan kepada daerah untuk menjadi sumber pendapatan daerah. Dalam hal pajak sebagaimana ketentuan pasal tersebut Pemerintah Pusat dapat menetapkan melalui undang-undang bahwa pajak tertentu yang sebelumnya merupakan kewenangan pusat diserahkan kepada daerah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan memperkuat otonomi fiskal daerah.

Bagian tentang keuangan daerah ditutup dengan pasal 64 dengan rincian 9 ayat. Pasal ini ditetapkan untuk menyeragamkan siklus penganggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penyeragaman ini penting agar:

  1. Perencanaan dan pengendalian keuangan publik menjadi lebih sinkron antara pusat dan daerah.
  2. Transfer keuangan dari pusat ke daerah (seperti subsidi atau bantuan pembangunan) dapat dilakukan secara tepat waktu dan efisien.
  3. Evaluasi dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap anggaran daerah menjadi lebih mudah, karena laporan disusun dalam periode yang sama.
  4. Koordinasi pembangunan nasional dan daerah dapat dilakukan secara simultan sesuai tahun fiskal yang sama (1 Januari – 31 Desember).

Meskipun otonomi daerah diberikan, pengelolaan APBD tetap sangat bergantung pada regulasi dan pengawasan dari pemerintah pusat. Salah satu bentuknya adalah keseragaman tahun anggaran. Hal itu menunjukkan karakteristik sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa Orde baru, dimana mekanisme fiskal dan administrasi daerah tunduk pada sistem nasional secara ketat. Bersambung…