Putra Kamoro ini menegaskan, Perda berbasis kearifan lokal diharapkan menjadi dasar hukum yang kuat untuk membatasi aksi perang suku atau perang saudara yang tidak membawa manfaat apa pun.

“Perang justru merugikan diri sendiri, sesama Orang Asli Papua (OAP). Tidak ada keuntungan dari saling membunuh,” tegasnya.

Primus juga menyoroti komitmen pemerintah yang saat ini gencar membangun Papua di berbagai sektor, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan budaya. Namun, upaya tersebut dinilai tidak akan bermakna jika konflik antarwarga terus terjadi.

“Kalau OAP sendiri saling membunuh, siapa yang akan menikmati hasil pembangunan itu? Jika perang terus terjadi, pembangunan hanya akan menjadi angan-angan tanpa makna,” ujarnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Distrik Kwamki Narama, Edwin Hauebi, dalam pertemuan tersebut mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten Mimika segera membentuk Perda larangan perang komunal.

Menurut Edwin, keberadaan dasar hukum yang jelas tidak hanya membatasi aksi perang, seperti yang terjadi di Distrik Kwamki Narama, tetapi juga membantu aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, dalam menindak para pelaku maupun provokator konflik.

Edwin menambahkan, konflik yang terjadi di wilayah Kwamki Narama hingga kini bukan dilakukan oleh warga yang ber-KTP Mimika, melainkan warga dari kabupaten tetangga. Konflik tersebut berawal dari persoalan pribadi, yakni kasus perselingkuhan, yang kemudian berkembang menjadi perang komunal. **