Untuk hak ulayat secara wilayah adat itu sudah ada dari sejak dahulu kala yaitu di kali Yawei yang bermuara ke kampung Uta di bagian atas di kampung mogodagi adalah tanah milik masyakat adat suku Mee dari 11 marga yang berasal dari Suku Mee yang tinggal diwilayah itu dari turun-temurun sampai mereka yang menerima para misionaris Pdt Walter Post dan Pdt Russel Deibler pada tahun 1938 di kampung Yaweibado Kampung Mogodagi.

Keberadaan Suku Mee di kampung Mogodagi, Yamouwi tina, Mauka, Eyagaikigi dan beberapa kampung adalah memang mereka berada dikampung itu dari sejak moyang mereka bukan untuk menguasai wilayah Suku Kamoro, jadi kedua masyarakat baik dari suku Mee maupun suku Kamoro dari moyang mereka biasa bekerja sama, hidup rukun dan damai serta dalam kehidupan mereka biasa saling menjaga dan melindungi serta baku bantu dalam social keberlangsungan hidup mereka.

Kedua suku ini baik Suku Mee maupun Suku Kamoro memahami dan menjaga hak-hak adat yang diwariskan oleh leluhur. Hak kesulungan tersebut tidak boleh diserahkan kepada pihak lain karena alasan-alasan yang bersifat praktis atau sementara yang kerugiannya berdampak kepada anak, cucu di masa yang akan datang.

Maka sebagai Gembala kami menyeruhka dalam Surat Seruan Gembala ini bahwa :
1. Berhentilah kepada pihak-pihak yang sengaja menciptakan Konflik adu domba antara Suku Mee dan Kamoro dengan tujuan untuk menggantikan Kepala Distrik Mimika Barat Jauh di Kapiraya, membangun Markas TNI dan Polri, Merelokasi atau mengusir warga setempat dan demi kepentingan merampok kayu dan eksploitasi tambang emas dalam skala kecil dan menengah di sepanjang kali Wakia serta membuka perusahaan besar eksploitasi Tambang Emas di dua lokasi yang sedang dibidik oleh Jakarta, yaitu di Blok Fajar Timur Papua A, dan Blok Fajar Timur Papua B yang berada di bagian gunung YOGE di Kapiraya.
2. Kedua belah pihak (suku Mee dan Kamoro) membangun kembali solidaritas, kekeluargaan serta keharmonisan keberlangsungan yang diwariskan oleh leluhur moyang Orang Mee dan leluhur moyang orang Kamoro dan harus duduk di para para Adat untuk hidup berdamai tanpa dibeking oleh pihak manapun seperti hidup sejak dahulu kala yang diwariskan oleh moyang Mee dan Kamoro.
3. Dalam waktu dekat para Tokoh Adat baik dari Suku Kamoro dan Suku Mee yang biasa tinggal di Kampung Uta, Wakiya, Mogodagi, Yamouwi Tina, Mauka dan Eyagaikigi duduk diskusi untuk berdamai dan menyepakati Tapal Batas Adat yang permanen dalam Forum Resmi Adat Suku Kamoro dan Suku Mee yang diwariskan oleh moyang Suku Kamoro dan Suku Mee dari sejak dahulu kala tanpa kepentingan pihak asing yang masuk di pemerintahan adat.
4. Para Pembunuh, penyaniaya, dan pembakaran rumah warga yang menyebabkan pendeta Neles Peuki dibunuh secara sadis dan biadab ini kepada pihak keamanan tangkap dan proses hukum.

Demikian Surat Seruan Gembala DKP Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua

Timika, 26 November 2025.