Block Grant dan Bahaya Kekuasaan Tanpa Pengawasan
Berikut beberapa solusi konkrit:
1. Bangun platform anggaran digital terbuka, tempat masyarakat bisa melacak setiap rupiah block grant. Kemana alirannya, siapa pelaksananya, dan apa dampaknya. Data ini harus disajikan dalam bahasa yang sederhana, bukan dokumen teknis 400 halaman.
2. Perkuat Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal. Tapi jangan biarkan mereka bekerja dalam gelap. Setiap hasil audit harus dipublikasikan, dan bisa diuji silang oleh warga dan jurnalis.
3. Libatkan masyarakat secara aktif.
Bentuk forum warga pengawas anggaran. Adakan Musrembang yang benar-benar dialogis, bukan seremoni formalitas. Beri ruang bagi suara perempuan, pemuda, dan kelompok adat dan agama untuk menentukan arah pembangunan.
4. Dorong audit independen berkala oleh BPK dan KPK, terutama di daerah rawan korupsi. Audit ini harus dilandasi kebenaran, bukan sekadar prosedur.
5. Ciptakan sistem insentif dan sanksi yang adil. Daerah yang akuntabel diberi penghargaan fiskal, sementara yang menyimpang diberi sanksi tegas, termasuk pemotongan anggaran dan penyelidikan hukum.
Menolak Dana yang Buta
Block grant adalah peluang, tapi juga jebakan. Ia bisa mempercepat kebangkrutan etika politik daerah. Semua tergantung pada sejauh mana rakyat bisa mengawasi, bertanya, dan menuntut pertanggungjawaban.
Dana block grant bersifat fleksibel dan berbasis kebutuhan lokal. Kebutuhan lokal hanya bisa dikenali melalui partisipasi kelompok masyarakat. Oleh karena itu, jika tidak ada proses partisipasi tidak melibatkan mama-mama pasar, pemuda kampung, nelayan, tokoh adat dan agama, maka bisa dipahami bahwa block grant dikelola tanpa dasar yang benar.
Di negeri yang katanya demokratis, dana publik bukan milik pejabat, tapi milik rakyat. Dan tidak ada demokrasi yang sehat jika uang rakyat dikelola tanpa pengawasan rakyat itu sendiri. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

































