Bagian Keempat Refleksi Historis Mimika 29 Tahun: Merawat Ingatan, Menata Masa Depan
Oleh: Laurens Minipko
HARI Ulang Tahun Kabupaten Mimika ke-29 tahun 2025 adalah momen penuh sukacita. Pemerintahan daerah telah berdiri, pembangunan berjalan, dan Mimika kini menjadi salah satu pusat aktivitas ekonomi dan sosial di Papua. Namun, perayaan ini tidak boleh hanya dimaknai sebagai tanda bertambahnya usia administratif. Ia juga harus menjadi ruang refleksi. Siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana Mimika akan dibawa.
Akar Sejarah: Amungme dan Janji “Hai”
Sebelum nama Mimika resmi tercatat dalam peta administrasi Indonesia, tanah ini adalah rumah bagi dua suku besar. Amungme di pegunungan dan Kamoro di pesisir. Terjemahan catatan sejarah (Carolyn D. Cook dan Joanna Webster, 2016) menyingkap bagaimana orang Amungme hidup dengan bertani, berburu, meramu, serta beternak babi. Hidup mereka berdiri di atas kemandirian dan sebuah nilai spiritual bernama “hai” (janji kesejahteraan yang diyakini mengalir ke dalam seluruh aspek kehidupan).
Namun, memasuki 1960-an, perubahan besar datang. Misi Zending dan Katolik, Pemerintah Indonesia serta perusahaan tambang internasional masuk membawa sekolah, kesehatan, dan pekerjaan. Bersama dengan itu, hadir pula tantangan. Malaria yang memaksa mereka kembali ke pegunungan, konflik tanah akibat tambang, serta migrasi besar-besaran ke Timika.
Sejak itulah Mimika menjelma menjadi ruang perjumpaan antara adat, negara, gereja, dan kapital. Dalam perjumpaan itu, orang Amungme kehilangan banyak hal, tetapi juga berusaha mempertahankan yang dianggap penting.
Transformasi Mimika Modern
Dalam tiga dekade terakhir, Kota Timika berkembang pesat. Bandara dibangun, jalan raya dibuka, permukiman didirikan, rumah sakit dan sekolah berdiri. Pertumbuhan ekonomi kota didorong oleh operasi tambang raksasa dan migrasi dari berbagai penjuru Indonesia.
Namun, perkembangan ini tidak datang tanpa harga. Pertumbuhan pesta kota seringkali diiringi oleh ketidaksetaraan. Banyak Amungme dan Kamoro tertinggal dalam persaingan ekonomi modern, tergantung pada beras subsidi dan barang dari luar, sementara tanah adat mereka semakin terdesak.
Bagi perempuan Amungme, beban hidup bertambah. Ketika kaum laki-laki banyak pergi ke kota atau bekerja di tambang, mereka harus mengurus kebun dengan tenaga yang terbatas. Produksi pangan menurun, sementara kebutuhan hidup meningkat. Inilah wajah ganda pembangunan. Membawa kemajuan, sekaligus menimbulkan luka.
Mimika 29 Tahun: Ruang Refleksi
HUT Mimika ke-29 adalah undangan untuk melihat sejarah dengan jujur. Kita tidak bisa hanya menghitung panjang jalan yang dibangun atau gedung baru yang berdiri. Kita juga perlu mengingat cerita Amungme dan Kamoro, tentang kampung yang terpecah, tanah yang hilang, tetapi juga tentang ketabahan menjaga kehidupan.
Perayaan ini seharusnya mengingatkan kita pada janji “hai”. Kesejahteraan yang menyentuh semua aspek hidup. Jika janji itu dulu menjadi dasar kepercayaan orang Amungme, maka hari ini janji itu harus diwujudkan dalam bentuk keadilan sosial, pembangunan yang merata, dan penghormatan kepada masyarakat adat.
Bingkai Regulasi dan Filosofis
Dalam kerangka hukum, peringatan HUT Kabupaten Mimika tidak sebatas seremonial, tetapi merupakan wujud amanat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi memberi kewenangan penuh bagi Mimika untuk mengatur pembangunan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat sesuai kebutuhan lokal.
Arah Pembangunan Mimika juga tercermin dalam dokumen resmi daerah. Bila visi bupati sebelumnya menekankan daya saing dan kemandirian, maka kini Bupati Mimika 2025-2029 membawa visi baru: “Terwujudnya Mimika yang responsif, enerjik, transparan, terampil, dan berdaya saing menuju Gerakan Kebangkitan Ekonomi Masyarakat Adil dan Sejahtera (GERBANG EMAS).
Visi ini mengandung pesan penting: Mimika harus tanggap (responsif) terhadap masalah sosial, penuh semangat (enerjik) dalam pembangunan, terbuka (transparan) dalam tata k elola, cakap (terampil) dalam pelayanan, adil (objektif) dalam kebijakan, sekaligus mampu bersaing di era global. Semua itu diarahkan pada satu tujuan: kebangkitan ekonomi masyarakat yang adil dan sejahtera.
Jika kita sandingkan dengan sejarah Amungme dan Kamoro, visi GERBANG EMAS dapat menjadi jembatan: Pembangunan yang tidak mengulangi luka masa lalu, tetapi memberi ruang keadilan bagi masyarakat adat, perempuan, anak muda, serta kelompok-kelompok yang rentan tertinggal.
Meneguhkan Janji
Mimika yang kita kenal hari ini adalah hasil perjumpaan banyak jalan. Jalan adat, jalan agama, jalan negara, jalan kapital. Semua bertemu, berkonflik, dan kadang saling meniadakan. Tetapi justru dari situ Mimika mendapat identitasnya. Sebuah tanah Karepau dan Honai yang berdiri tegak menopang identitas Amungme dan Kamoro, dan yang menjadi rumah bagi banyak orang.
Di usia ke-29 ini, Mimika dipanggil untuk meneguhkan janji kesejahteraan yang adil. Sebuah janji yang bukan hanya milik perusahaan tambang atau pemerintah, tetapi janji yang lahir dari akar. Dari Amungme, dari Kamoro, dan dari semua orang yang menyebut Mimika sebagai rumah. Dan visi GERBANG EMAS bisa menjadi arah baru, agar Mimika tidak hanya tumbuh, tetapi juga adil, lestari, dan berakar pada sejarahnya sendiri. **

































