Dalam perspektif filsafat politik, ini adalah contoh klasik “abuse of power”. Keadilan prosedural dipakai untuk menyingkirkan keadilan substantif. Aturan dijalankan, tetapi makna keadilan terkhianati.

Mengapa dan Bagaimana Otoritas Dipakai

Pertanyaan kritis muncul: mengapa logika ad verecundiam dipakai, dan bagaimana ia digunakan?

Pertama, ia dipakai untuk menutup ruang perdebatan. Begitu otoritas bicara, kritik dianggap selesai. Kedua, ia memberi legitimasi instan: keputusan yang cacat prosedur tetap terlihat benar karena diletakkan pada lembaga resmi. Ketiga, ia melindungi kepentingan tertentu dengan wajah hukum.

Bagaimana cara kerjanya? Otoritas mengganti fakta dengan simbol, ketidaktransparanan seleksi disamarkan dengan kalimat prosedural. Kritik publik dijawab dengan dogma “tidak bisa digugat”. Keadilan substantif dipinggirkan oleh keadilan formal, sementara rakyat dipaksa membuktikan kesalahan, padahal otoritas tidak pernah sungguh membuktikan kebenarannya.

Implikasi Sosial-Politik

Praktik tersebut memiliki dampak pada banyak aspek. Dari aspek sosial, publik kehilangan kepercayaan pada hukum dan birokrasi. Ketidakadilan menjadi normal: masyarakat terbiasa kalah oleh otoritas. Dari aspek politik, negara kehilangan legitimasi moral, sebab hukum hanya melayani otoritas, bukan lagi instrumen keadilan, melainkan instrument dominasi.

Dalam kerangkan Foucault, praktek ini adalah kuasa-pengetahuan: Lembaga hukum tidak mengatur, tetapi menentukan apa yang boleh disebut “benar”. Dalam kerangka Habermas, ini adalah kegagalan komunikasi: keputusan diambil tanpa ruang deliberasi, tanpa rasionalitas dialogis.

Melawan Dogma Otoritas

Esai ini hendak menegaskan bahwa ad verecundiam bukan hanya kesalahan logika, melainkan mekanisme kekuasaan yang berbahaya. Ketika berpadu dengan penyelundupan fakta hukum, ia melahirkan krisis keadilan. Kasus seleksi DPRK Paniai hanyalah contoh kecil, tetapi resonansinya luas: birokrasi kita masih muda tergoda untuk menukar kebenaran dengan otoritas. Selama kita masih tunduk pada dogma otoritas tanpa berani membongkar faktanya, keadilan sosial akan tetap menjadi retorika kosong.