Ad Varecundiam
Oleh : Laurens Minipko
DALAM media online detikbarat.id terbitan Selasa, 2 September 2025 terumus judul berita “Dinilai Lakukan Penyelundupan Fakta Hukum Dalam Putusan Kasus DPRK Paniai, Pengacara Lapor Bawas Mahkamah Agung dan KY Hingga Bareskrim Polri”. Judul tersebut seketika memantik rasa ingin tahu tentang muatan makna ungkapan “penyelundupan makna hukum”.
Penelusuran itu mengantarkan saya sampai pada otoritas yang dipakai untuk menafsirkan fakta hukum. Disinilah ditemukan ungkapan “Fallacy ad verecundiam”. Maka muncul pertanyaan analitis: Mengapa logika otoritas dipakai? Dan bagaimana ia digunakan?
Basis Regulasi
Dalam ilmu hukum, penyelundupan hukum (rechtsverduistering atau rechtsontduiking) dipahami sebagai tindakan yang secara formal terlihat sesuai hukum, tetapi substansinya menyimpang atau mengaburkan maksud sebenarnya. Spesifik dalam putusan pengadilan istilah tersebut sering dipakai hakim atau aparat hukum yang menafsirkan atau menyajikan fakta hukum secara menyesatkan demi menguntungkan salah satu pihak. Norma hukum yang secara eksplisit dapat menjelaskan tindakan hukum tersebut dapat ditemui dalam pasal 183 UU No.8 Tahun 1981 (KUHAP); Undang-Undang Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 4 Tahun 1985; pasal 5 ayat (1), pasal 8 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009; dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Fallacy Ad Verecundiam: Otoritas sebagai Dalih
Ad verecundiam , atau sesat pikir otoritas, adalah logika yang menjadikan kewenangan sebagai dasar kebenaran. Alih-alih membuktikan sesuatu secara faktual, kebenaran dipaksakan melalui posisi atau jabatan: hakim, pejabat, birokrat, tim seleksi, bahkan lembaga negara. Dalam filsafat sosial, ini mencerminkan hegemoni: kuasa bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga menentukan apa yang dianggap benar.
Dalam hukum, logika ini berwujud pada kalimat-kalimat final, seperti: “putusan hakim final dan mengikat”, “itu sudah kewenangan lembaga, atau tim seleksi, atau “semua sesuai prosedur”. Di balik kalimat itu, publik diarahkan untuk berhenti bertanya. Kritik dipatahkan bukan dengan argumen, melainkan dengan dalih otoritas.
Penyelundupan Fakta Hukum: Mekanisme Kekuasaan
Apa dampaknya jika otoritas digunakan sebagai dalih. Jika dalih bertumpuh pada otoritas maka penyelundupan fakta hukum adalah teknik operasionalnya. Fakta yang mengganggu kepentingan diabaikan, disembunyikan, atau diganti dengan narasi resmi. Dalam kasus seleksi DPRK Pania, kita perlu menanyakan apakah proses seleksi yang dilakukan tertutup atau terbuka; apakah keberatan peserta digubris atau tidak digubris, hingga apakah ada dugaan manipulasi dokumen. Bila jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut diabaikan, maka yang tersisa hanyalah legitimasi formal yang diletakkan pada keputusan.

































