Berfilsafat di Lintasan PSU Papua
Oleh : Laurens Minipko
PEMUNGUTAN Suara Ulang (PSU) Kepala Daerah Gubernur Papua pada 6 Agustus 2025 melintas dari titik jalan putusan MK No. 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 (sengketa hasil Pilgub Papua 2024) hingga sekarang (tahapan rekapitulasi berjenjang), dan akan terus berlangsung hingga selesai. Lintasan pada titik pencoblosan dan hari-hari sesudahnya diwarnai oleh narasi-narasi tentang dugaan kecurangan atau pelanggaran yang masif. Hal itu melahirkan pertanyaan filosofis yang penting: apakah PSU yang dibangun di atas fondasi demokrasi masih mampu menjaga makna kedaulatan rakyat Papua, ataukah ia telah berubah menjadi panggung rekayasa kuasa.
Berita yang datang dari Biak tentang “suara kebenaran” yang menyingkap kecurangan memantik niat saya untuk membaca ulang makna kebenaran, keadilan, dan kuasa dalam horizon filsafat. Tulisan ini mencoba menelusuri hal tersebut melalui lensa Aristoteles, Thomas Aquinas, Rawls, Foucault, Ricoeur, hingga Hanna Arendt.
Ontologi dan Epistemologi
Dalam filsafat, kebenaran dibahas pada aras ontologis dan epistemologis.
1. Ontologis (ada). Kebenaran dibahas pada aras ontologis, yaitu “apa adanya” (terlepas dari tafsir manusia). Pertanyaannya: apa yang ada? Apa hakekat sesuatu? Dalam konteks PSU Papua, ada tiga entitas yang mesti kita pahami secara ontologis:
• Rakyat Papua sebagai subyek ontologis. Mereka adalah angka pemilih (DPT) yang memberikan suara pada hari pemungutan, dan mereka memilih dengan kehendak politik. Apa itu? Adalah kemerdekaan memilih. Simbolnya: tinta di jari, kertas suara dan bebas dalam kerahasiaan (bilik). Jika ada intimidasi (contoh beberapa kasus intimidasi di TPS-TPS) maka hakekat kehendak itu berubah menjadi bayangan kehendak, bukan lagi yang asli. Oleh karena itu, mengabaikan suara dan kehendak politik rakyat dalam rangkaian tahapan PSU berarti menghapus eksistensi politik mereka, denyut jantung dari PSU itu.
• PSU sebagai peristiwa ontologis. PSU lebih dari prosedur teknis atas perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Ia merupakan wujud kebenaran kolektif yang mengikat masyarakat. Ia memiliki hakikat ganda: prosedur (tahapan) dan substansial (legitimasi rakyat).
• Kebenaran hukum sebagai konstruksi ontologis.
Berita Acara Penetapan Rekapitulasi Perolehan Suara berjenjang yang menyatakan perolehan suara paslon A dan B “ada” secara hukum (produk putusan). Namun ontologisnya dipertanyakan bila proses itu tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Dengan kata lain, hukum bisa “ada” tetapi belum tentu “benar”.
2. Epistemologis (pengetahuan):
Kebenaran adalah apa yang kita ketahui tentang yang ada. Di sini kita bertanya: Bagaimana kita tahu bahwa sesuatu itu benar? Dalam konteks PSU Papua, kebenaran dicermati dengan dua teropong: kebenaran hukum dan kebenaran filsafat:
• Kebenaran hukum diperoleh melalui bukti formal: dokumen tahapan (form-form), berita acara, saksi resmi, putusan lembaga berjenjang. Ia adalah epitemologi legalistik, di mana yang sahih adalah yang sesuai prosedur.
• Kebenaran filsafat (atau kebenaran sosial-politik) diperoleh melalui pengalaman nyata: apa yang dialami rakyat, bagaimana proses berjalan, dan apakah keadilan substantif hadir. Ia adalah sepistemologi praksis.
• Dalam kasus PSU Papua, epistemologi hukum bisa mengklaim: “penetapan hasil rekapitulasi sah karena ada Berita Acara Penetapan Perolehan Suara.” Namun epistemologi praksis bisa menantang: “Apakah benar rakyat bebas menentukan pilihan? Apakah tidak ada intimidasi, rekayasa, atau manipulasi?
Secara ontologis, rakyat Papua adalah sumber legitimasi tentang kebenaran. Secara epistemologis, cara mengetahui kebenaran harus melibatkan pengalaman rakyat, bukan hanya dokumen hukum. Jika hukum hanya berhenti pada legalitas (kebenaran hukum), ia kehilangan dimensi ontologis rakyat. Dan jika filsafat hanya berhenti pada idealisme, ia kehilangan pijakan empiris. Nah, di situlah korelasinya. Korelasi ini menunjukkan bahwa kebenaran hukum tanpa kebenaran ontologis (rakyat) hanyalah formalitas kosong (sah tapi kosong makna ontologis).
Kebenaran: Fakta, Konsistensi, dan Manfaat
Filsfat klasik memahami kebenaran dalam tiga perpektif:
1. Korespondensi (Aristoteles, Aquinas): kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan (teks) dengan kenyataan (proses Tungsura, rekap, dll). Jika hasil PSU menyimpang dari suara nyata rakyat, maka ia adalah kebohongan. Dalam pandangan Aquinas lebih tegas lagi, kebenaran PSU tidak berhenti pada kecocokan dengan fakta, tapi harus mencerminkan keadilan sebagai tatanan moral.
2. Koherensi (Spinoza, Hegel): kebenaran lahir dari konsistensi dalam sistem pengetahuan. Hasil Pemilu yang tidak selaras dengan prinsip demokrasi (keadilan, kebebasan) menyalahi koherensi itu.

































