80 Tahun Janji Keadilan Sosial Diikat Dalam UUD 1945
PAGI itu, 18 Agustus 1945, udara Jakarta masih diselimuti ketegangan. Bau mesium perang dunia belum sepenuhnya hilang, pasukan Jepang masih berkeliaran, dan rakyat baru sehari merayakan proklamasi. Ada rasa takut dibalut euphoria.
Di sebuah gedung sederhana di Penjambon, para tokoh bangsa berkumpul. Mereka sadar, tugas hari ini tak kalah penting dari kemarin: jika 17 Agustus adalah hari lahirnya kemerdekaan, maka 18 Agustus adalah hari kemerdekaan diberi jiwa/roh dalam sebuah sidang yang paling bersejarah: Sidang PPKI.
Sidang Pagi itu: 18 Agustus
Para anggota PPKI berkumpul di Penjabon. Agenda sidang diurutkan:
1. Mengesahkan UUD 1945.
2. Memilih presiden dan wakil presiden.
3. Membentuk Komite Nasional.
Namun di balik itu, ada perdebatan penting tentang dasar negara.
Perubahan dari Piagam Jakarta
Sehari sebelumnya, 17 Agustus, Piagam Jakarta masih memuat rumusan sila pertama dengan tujuh kata: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Namun pada pagi 18 Agustus, tokoh-tokoh dari Indonesia Timur (Katolik, Kristen, dan lainnya) menyatakan keberatan. Soekarno, Hatta, dan para anggota PPKI kemudian memutuskan menghapus tujuh kata itu, demi persatuan bangsa.
Dengan penghapusan itu, sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dan sila kelima tetap dipertahankan sebagai puncak: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Filosofi Penempatan Sila Kelima
Mengapa sila kelima jadi puncak? Soekarno, sejak pidato 1 Juni, memang menegaskan bahwa semua sila bermuara pada keadilan sosial.
• Tanpa kebangsaan: keadilan tak punya wadah.
• Tanpa internasionalisme: keadilan jadi sempit
• Tanpa musyawarah: keadilan jadi otoriter.
• Tanpa ketuhanan: keadilan kehilangan moral
• Maka puncaknya: keadilan sosial sebagai tujuan akhir negara.

































