Oleh : Laurens Minipko

MENGISI ruang akhir pekan bersama, penulis hadirkan secuil kisah mama-mama pinang di salah satu sudut Kota Timika.

“Saya datang dari Buton tahun 2019. Awalnya ikut suami kerja bangunan. Sekarang suami sudah meninggal, saya bertahan jual pinang di sini,” kata seorang mama penjual pinang di samping lapak pinang depan kios Kota Timika.

Ia mengikat rambutnya dengan sapu tangan putih. Tangannya lincah menyusun pinang dalam plastik kecil. Di sebelahnya, mama Papua duduk diam, matanya awas, tapi tidak menyapa.

Satu Tenda, Banyak Asal

Tenda-tenda pinang di kota ini bukanlah ruang homogen. Di baliknya ada berbagai etnis, bahasa, dan sejarah migrasi. Tidak semua mama penjual pinang adalah mama Papua. Ada yang berasal dari Buton, Sulawesi Selatan, Ambon, Timor dan Pulau Jawa.

Mereka datang ke kota ini karena berbagai alasan dan latar belakang. Ikut suami transmigrasi, ikut keluarga militer-polisi, atau aparatur pemeintahan sipil, atau karena ekonomi di kampung halaman menjerat leher. Mereka bukan konglomerat, tapi juga bukan bagian dari komunitas adat Papua di kota ini.

Maka lapak-lapak pinang hari ini adalah titik temu dari banyak perantauan. Yang satu menjual untuk bertahan hidup, yang lain menjual untuk menyeberang pulang. Tapi ruang yang sempit dan modal yang terbatas membuat perjumpaan ini tidak selalu ramah.

Ada mama Papua yang merasa lapaknya ‘direbut’ oleh mama penjual pinang yang lain. Ada mama pendatang yang mengaku sering diintimidasi oleh mama lokal juga pembeli yang ‘mabuk’. Bahkan ada yang saling diam, saling tatap tanpa bicara, dari tenda ke tenda. Bukan karena benci, tapi karena luka, saling curiga, atau harapan hari ini yang mungkin tidak akan kesampaian. Ragam macam penyebabnya.