Oleh : Laurens Minipko, Mantan Anggota KPU Mimika (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

A. Pengantar

Sejak era reformasi bergulir pada akhir 1990-an, paradigma penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia mengalami transformasi mendasar. Salah satu tonggak penting dari perubahan tersebut adalah penerapan otonomi daerah, yang memberi kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Dalam konteks ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi instrument krusial yang mencerminkan bagaimana pemerintah daerah menjalankan fungsi-fungsi pelayanan publik, pembangunan, dan pengelolaan sumber daya secara mandiri. Melalui APBD, arah kebijakan dan prioritas pembangunan daerah ditentukan, sehingga kualitas dan keberhasilan otoniomi daerah banyak bergantung pada tata kelola anggaran tersebut.

”MTQ

Tema bahasan tentang APBD dalam bingkai Otonomi Daerah bagi kebanyakan orang awam (non ASN, non cendekiawan dan non praktisi di bidang pemerintahan) merupakan tema yang asing. Oleh karena itu, tulisan kecil ini bermaksud menyajikan bahasan selayang pandang, dan semoga saja dapat bermanfaat bagi pembaca awam. Bahasan tema ini akan dimulai dari cikal bakal Otonomi Daerah, APBD dalam bingkai Otonomi Daerah, paradigma yang mendasari perumusan APBD, dan legalisasi APBD di Indonesia.

B. Cikal Bakal Otonomi Daerah

Pembahasan tentang cikal bakal Otonomi Daerah akan dimulai dari masa Pemerintahan Hindia Belanda.

b.1. Sebelum Tahun 1903 (masa berlakuknya konstitusi Regeringsreglement 1854)

Sebelum tahun 1903, semua urusan pemerintahan di Hindia Belanda sangat tersentralistik. Kondisi tersebut merupakan pengejawantahan konstitusi Regeringsreglement 1854. Pasal 66, pasal 67, pasal 68 Konstitusi tersebut mengatur di antaranya: Gubernur Jenderal berwewenang mengeluarkan ordonansi atau menetapkan peraturan yang berlaku umum, menetapkan aturan khusus bagi penduduk tertentu dan mengangkat pejabat di semua tingkatan wilayah. Struktur administrasi daerah dipisahkan, yaitu kekuasaan Pemerintah Pusat berada pada Gubernur Jenderal, Dewan Hindia (Raad van Nederlandsh-Indie), departemen pusat (keuangan, pendidikan, pertanian, dll), sementara administrasi daerah diatur sebagai berikut: Residentie – Afdeling – Onderafdeling – Desa. Pada bidang keuangan negara, misalnya pasal 71 menetapkan “Gubernur Jenderal wajib menyusun anggaran tahunan APBN dan mengajukan kepada Raja Belanda untuk disetuji.” Pasal 72 dan pasal 73 menetapkan tentang pendapatan, pengeluaran negara dan laporan pertanggungjawaban berdasarkan otoritas hukum tertinggi, Gubernur Jenderal. Singkatnya, Gubernur Jenderal di Batavia mengendalikan seluruh wilayah dan administrasi pemerintahan dan keuangan tanpa ada pendelegasian kekuasaan berarti atau otonomi ke daerah.

b.2. Decentralisatiewet 1903

Hindia Belanda mencakup ribuan pulau dengan beragam suku, agama, bahasa, dan adat istiadat. Munculnya masalah urban (sanitasi, transportasi, pendidikan dan kesehatan) di kota-kota seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang. Dampak demokratisasi di negara-negara Eropa pada akhir abad ke-18, tekanan kelompok Liberal di Belanda dengan Gerakan Etische Politiek (Politik Etis), yang menuntut Pemerintah Belanda tidak otoriter dan lebih berorientasi pada kemajuan penduduk jajahan, kritik mereka terhadap kebijakan tanam paksa, krisis fiskal Belanda menjelang abad ke-20 karena biaya mengelola kolonial sangat besar (120 juta sampai 180 juta Golden per tahun, beban terbesar pada militer, menyusul gaji pegawai pemerintahan), daerah-daerah kaya hasil bumi seperti Jawa dan Sumatera) memerlukan pengelolaan yang lebih fleksibel (pasar, pelabuhan, dan isnfrastruktur, keterlambatan merespon oleh pemerintah pusat terhadap gejolak di daerah-daerah.

Oleh karena kondisi-kondisi tersebut akhirnya Pemerintah Belanda menetapkan sistem pemerintahan yang lebih efisien, efektif, terukur dan desentralisasi yang diatur dalam Decentralisatiewet 1903.