Oleh : RD. Stefanus Wolo Itu

KAMIS, 5 Juni 2025 kita memperingati hari lingkungan hidup sedunia. Saya teringat kota indah di kawasan Skandinavia: Stockholm, Swedia. Kota terbuka di tepi Danau Mäleran, berhiaskan taman-taman indah. Stockholm pernah digelari “Venesia di Utara”. Di sana juga berdiri megah tiga situs budaya dunia: Istana Drottningholm, Skogskyrkogärden dan Birka. Tahun 1998, Stockholm digelari “Ibu Kota Budaya Eropa”.

Sejak tahun 1901 Stockholm dikenal karena memberikan Hadiah Nobel. Salah satu hadiah paling bergengsi sejagat. Nobel diberikan kepada orang-orang hebat. Mereka yang dinilai telah memberikan manfaat penting bagi ilmu pengatahuan dan umat manusia.

”MTQ

Hadiah Nobel terdiri dari enam kategori: Fisika, Kimia, Kedokteran, Sastra, Ekonomi dan Perdamaian.

Stockholm juga merupakan tempat dimana Hari Lingkungan Hidup Sedunia dicanangkan. Pencanangan itu terjadi pada tanggal 5 Juni 1972. Bertepatan dengan pembukaan KTT Lingkungan Hidup PBB oleh United Nations Environment Programme (UNEP) atau Program Lingkungan Hidup PBB. Sejak itu sekitar 150 negara berpartisipasi dalam Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

UNEP menegaskan dirinya sebagai “Suara Lingkungan Hidup” sedunia. Mereka berperan sebagai jembatan, advokat, pendidik, fasilitator pendidikan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. UNEP tidak bekerja sendirian. Mereka bermitra dengan Badan-Badan PBB lainnya. Juga berjejaring dengan lembaga internasional, pemerintah, LSM, pebisnis dan masyarakat sipil.

UNEP memperkuat standar perlindungan lingkungan di tingkat nasional, regional dan global. Mereka membantu negara-negara menerapkan kewajiban lingkungan  sesuai konvensi dan perjanjian internasional. UNEP menolong negara-negara menuju ekonomi yang berkelanjutan. Mereka mendorong penggunaan energi terbarukan. Energi yang berasal dari alam dan dapat diperbaharui secara alamiah. Contohnya matahari, angin, air dan panas bumi.

UNEP mendukung negara-negara menjaga ekosistem, keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam. Mereka mengumpulkan dan menganalisa data yang berkaitan dengan lingkungan. Data-data membantu para pemimpin dunia mengambil keputusan tepat dan efektif. UNEP mendorong pembangunan berkelanjutan. Juga menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan.

Setiap tahun UNEP memprakarsai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Mereka mengusung tema-tema berbeda. Tapi tetap satu komitmen. Hari Lingkungan Hidup harus menjadi momentum untuk memperingati, merayakan dan meningkatkan kesadaran kritis kita. Mulai dari tingkat akar rumput hingga level global.  Kesadaran kritis bersama untuk merawat lingkungan hidup dan melindungi ibu bumi.

Saya mencatat tema-tema selama lima tahun terakhir. Tahun 2021: Restorasi Ekosistem. Tahun 2022: Hanya Satu Bumi. Tahun 2023: Mengalahkan Polusi Plastik. Tahun 2024: Restorasi Lahan, Penggurunan dan Ketahanan Terhadap Kekeringan. Tahun 2025 yang dirayakan di Korea Selatan bertemakan ‘Ending Plastic Pollution atau Hentikan Polusi Plastik’.

Bagaimana Indonesia memaknai Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2025? Pemerintah RI melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengajak masyarakat setanah air tanggal 5 Juni 2025 menghadiri  ‘Apel Bersama dan Aksi Bersih Sampah Plastik’. Kegiatan ini bertujuan membangun kesadaran bersama tentang sampah plastik. Sampah plastik adalah ancaman besar bagi lingkungan dan kesehatan warga.

Masalah Geothermal Flores

Keuskupan Agung Ende sebagai salah satu elemen bangsa Indonesia memiliki cara tersendiri memaknai Hari Lingkungan Hidup.  Para pastor, biarawan/wati, tokoh adat, Orang Muda Katolik (OMK), aktivis lingkungan hidup dan umat paroki menggalang aksi damai menolak kehadiran proyek geothermal di Flores. Benar bahwa geothermal merupakan sumber energi terbarukan. Geothermal ramah lingkungan. Pasokannya stabil karena tidak bergantung pada cuaca. Tidak memerlukan bahan bakar dan dapat diakses secara global.

Namun pembangunan geothermal yang kini sedang berjalan di wilayah Keuskupan Agung Ende (Mataloko dan Sokoria) bermasalah. Geothermal tidak menjadi berkat. Sebaliknya membawa bencana. Team investigasi Keuskupan Agung Ende, JPIC KAE, Aliansi Terlibat Bersama Korban Geothermal Flores, JATAM, JPIC SVD dan SSPS, JPIC OFM menemukan lima masalah kehadiran proyek geothermal.

Pertama, masalah lingkungan. Masalah lingkungan bersentuhan dengan degradasi lahan. Degradasi lahan berkaitan dengan penggusuran lahan pertanian masyarakat. Munculnya erosi tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati. Pengeboran panas bumi menimbulkan pencemaran air bersih dan air untuk lahan pertanian. Pulau Flores masuk zona cincin api. Pengeboran geothermal meningkatkan risiko gempa dan penurunan permukaan tanah.

Kedua, masalah sosial budaya. Masyarakat adat kehilangan tanah leluhur dan hak-hak atasnya. Mereka juga kehilangan daya kohesi sosial. Terjadi ketidakharmonisan hubungan individu dan kelompok sosial. Ada konflik kepemilikan lahan dalam keluarga, suku dan kampung. Ritus-ritus adat yang dibangun di budaya pertanian kehilangan makna.

Ketiga, masalah ekonomi. Kita menemukan ketimpangan manfaat. Ganti untung hanya diberikan kepada para penjual tanah. Sementara mereka yang terkena dampak negatif tidak mendapat perhatian. Masyarakat terkena dampak hanya diberi Corporate Social Responsibility (CSR). Sifatnya amal dan sementara. Sumber mata pencaharian masyarakat terganggu. Mereka tidak bisa menjalankan aktivitas pertanian, peternakan dan perkebunan.

Keempat, masalah kesehatan. Terjadinya pencemaran air tanah dan air permukaan. Mineral dan gas menyembur dari bawah tanah dan menimbulkan pencemaran. Juga terjadi pencemaran udara. Udara yang tercemar menimbulkan gangguan kesehatan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan penyakit lain yang ditularkan melalui udara.

Kelima, tidak ada keterbukaan informasi publik. Sejak awal tidak semua warga sekitar proyek geothermal dilibatkan dalam mengambil keputusan. Kesepakatan pembangunan geothermal harus melibatkan semua pihak. PLN dan investor hanya mengundang penjual tanah dan aparat pemerintahan setempat. Visi dan wawasan mereka terbatas. Kalangan kritis, lebih berwawasan tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan dan kecemasan mereka. Masyarakat luas di wilayah Keuskupan Agung Ende tidak pernah mendapat sosialisasi tentang sumber-sumber energi terbarukan.

Pemerintah, PLN dan kontraktor sepertinya berjalan terus. Mereka tidak menghiraukan keberatan gereja, masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup. Gubernur NTT, Melky Lakalena pernah secara lisan menyatakan penghentian proyek geothermal. Apakah pernyataan lisan itu kemudian dibuat dalam dokumen tertulis?