• Membatasi mobilitas identitas internal dan eksternal.

• Menata ulang cara klaim atas tanah dan sumber daya (wilayah hidup, hak dan akses).

• Menyediakan peta legal yang siap digunakan untuk distribusi dana Otsus, proyek strategis nasional, hingga DOB.

”SADAR

Maka penamaan wilayah adat bukanlah soal budaya semata. Ia adalah medan kontestasi wacana, antara yang mengaku berbicara atas nama adat dan yang benar-benar hidup sebagai orang adat.

Apakah Orang Adat Bicara?

Gaytri Spivak (Filsuf) bertanya: “Can the subaltern speak?” Dapatkan orang-orang terpinggir, seperti masyarakat adat, benar-benar berbicara dalam bahasa mereka? Atau suara mereka hanya ditafsirkan oleh elite, ditulis ulang oleh negara, lalu dikembalikan sebagai “rumusan adat”?

Heidegger mengajak kita untuk kembali pada keheningan, pada suara yang belum dikonstruksi oleh sistem. Mungkin di kampung, wilayah adat tidak dikenal sebagai “La Pago”, tetapi sebagai gunung, sungai, dan jalur arwah nenek moyang. Pengetahuan itu tak bisa dipetakan oleh batas administratif.

Jadi, ketika negara menyebut “wilayah adat.” Kita harus bertanya: Apakah ini rumah yang dibangun oleh bahasa rakyat, atau benteng yang didirikan oleh kuasa simbolik?

Menamai Ulang, Menolak Dihitung

Papua tidqak bisa direduksi jadi tujuh wilayah adat. Orang-orang gunung dan pesisir tidak bisa dipetakan begitu saja ke dalam kotak statistik dan terminologi birokrasi. Sebab di balik setiap nama ada sejarah, konflik, dan kemungkinan yang belum selesai.

Maka tugas kita adalah membongkar bahasa yang seolah netral, dan bertanya: Siapa yang pertama menulis Tabi-Saireri, Ha-Anim, dst? Siapa yang menandatangai peta itu? Dan siapa yang diam-diam, kehilangan rumah di balik kata-kata itu? (Isi tulisan tanggung jawab penulis)