Oleh: Laurens Minipko

“Bahasa bukan sekadar alat penamaan. Ia adalah cara manusia membangun dunia” (Heidegger).

Nama yang Diwariskan atau Ditetapkan

”MTQ

TIDAK asing di telinga dan nalar kita nama-nama tujuah wilayah ada di seantero Pulau Papua. Bahkan kita telah menerima nama-nama itu begitu saja: Tabi, Saireri, Ha Anim, Me Pago, Lapago, Bomberai, Domberai. Kita menulis di dokumen resmi, mendengar para elit menyebutnya di seminar, memproklamisrkannya di media sosial, atau menyaksikan di peta wilayah adat yang diresmikan negara.

TAPI PERNAHKAH KITA HENING DALAM BENINGNYA NALAR FILSAFAT DAN BERTANYA:
1. SIAPA YANG PERTAMA KALI MERUMUSKAN WILAYAH INI?
2. DALAM BAHASA SIAPA?
3. DALAM IMAJINASI SIAPA?
4. UNTUK KEPENTINGAN SIAPA?
5. DALAM KONTEKS SEJARAH SEPERTI APA?
6. PADA MUATAN KEPENTINGAN SEPERTI APA PENAMAAN ITU DIFORMULASIKAN?

Apakah ini murni representasi adat atau justru produk dari rekayasa epistemik yang mengatasnamakan adat demi merapikan Papua ke dalam kerangka birokrasi “negara” dan proyek politik tertentu?

Heidegger dan Kuasa Penamaan: Bahasa sebagai Tempat Tinggal Kebenaran

Martin Heideggger (Filsuf) mengatakan bahwa Bahasa adalah rumah dari ‘Ada’ (das haus des Seins). Di dalam Bahasa, manusia membangun dunia. Maka ketika sebuah wilayah dinamai atau dirumuskan, itu bukan hanya soal identitas tetapi soal bagaimana kenyataan empiris dan metafisik dibentuk dan dikuasai.

Ketika kita menyebut “Tabi”, apakah itu suara yang datang dari kampung-kampung di pesisir Jayapura dan Keerom? Atau itu suara yang dikristalkan oleh lembaga negara, LSM, atau forum-forum yang dimandatkan oleh proyek otonomi? Atau oleh kuasa negara masa kolonial? Heidegger menyadarkan kita dalam konteks ini bahwa penamaan adalah tindakan metafisik yang menyembunyikan kuasa.

Dari Wilayah Adat ke Wilayah Politik: Bahasa yang Membingkai Dunia

Penamaan wilayah adat di Papua seringkali disebut sebagai bagian dari “penguatan identitas lokal”. Tapi bila kita dekati secara epistemik, ini bukan sekadar penguatan melainkan proses klasifikasi dan normalisasi. Penamaan itu memuat kuasa yang punya otoritas untuk menentukan berbicara dan siapa yang tidak boleh berbicara, dan juga kuasa untuk mengakui dan menolak.

Kita perlu bertanya bersama Foucault: Siapa yang mendefinisikan? Dan bersama Heidegger: Apa yang disembunyikan oleh kata itu? Karena dalam struktur seperti itu Tabi-Saireri-Ha Anim dll, terdapat kekuatan membingkai dunia:

• Membatasi mobilitas identitas internal dan eksternal.

• Menata ulang cara klaim atas tanah dan sumber daya (wilayah hidup, hak dan akses).

• Menyediakan peta legal yang siap digunakan untuk distribusi dana Otsus, proyek strategis nasional, hingga DOB.

Maka penamaan wilayah adat bukanlah soal budaya semata. Ia adalah medan kontestasi wacana, antara yang mengaku berbicara atas nama adat dan yang benar-benar hidup sebagai orang adat.

Apakah Orang Adat Bicara?

Gaytri Spivak (Filsuf) bertanya: “Can the subaltern speak?” Dapatkan orang-orang terpinggir, seperti masyarakat adat, benar-benar berbicara dalam bahasa mereka? Atau suara mereka hanya ditafsirkan oleh elite, ditulis ulang oleh negara, lalu dikembalikan sebagai “rumusan adat”?

Heidegger mengajak kita untuk kembali pada keheningan, pada suara yang belum dikonstruksi oleh sistem. Mungkin di kampung, wilayah adat tidak dikenal sebagai “La Pago”, tetapi sebagai gunung, sungai, dan jalur arwah nenek moyang. Pengetahuan itu tak bisa dipetakan oleh batas administratif.

Jadi, ketika negara menyebut “wilayah adat.” Kita harus bertanya: Apakah ini rumah yang dibangun oleh bahasa rakyat, atau benteng yang didirikan oleh kuasa simbolik?

Menamai Ulang, Menolak Dihitung

Papua tidqak bisa direduksi jadi tujuh wilayah adat. Orang-orang gunung dan pesisir tidak bisa dipetakan begitu saja ke dalam kotak statistik dan terminologi birokrasi. Sebab di balik setiap nama ada sejarah, konflik, dan kemungkinan yang belum selesai.

Maka tugas kita adalah membongkar bahasa yang seolah netral, dan bertanya: Siapa yang pertama menulis Tabi-Saireri, Ha-Anim, dst? Siapa yang menandatangai peta itu? Dan siapa yang diam-diam, kehilangan rumah di balik kata-kata itu? (Isi tulisan tanggung jawab penulis)