Pohon Natal dan Pohon Sawit
Karl Polanyi jauh hari telah mengingatkan bahaya ketika tanah dan alam diperlakukan semata sebagai komoditas. Dalam The Great Transformation, Polanyi menyebut tanah sebagai “komoditas fiktif” karena ia sejatinya bukan barang yang diciptakan untuk diperjualbelikan. Ketika tanah dipaksa tunduk pada logika pasar, yang runtuh bukan hanya ekosistem, tetapi juga tatanan sosial dan kebudayaan. Ekspansi sawit adalah contoh nyata bagaimana peringatan Polanyi itu terus diabaikan.
Ironinya, semua ini berlangsung di tengah narasi stabilitas, swasembada dan kemakmuran. Negara berbicara tentang ketertiban, investasi, dan pertumbuhan, sementara luka sosial dan ekologis dianggap sebagai biaya yang tak terhindarkan. Stabilitas menjadi kata kunci yang mahal, dan seringkali dibayar dengan pembungkaman suara masyarakat adat, kriminalisasi warga, serta militerisasi ruang hidup.
Di Papua, makna pohon jauh melampaui nilai ekonomi. Pohon adalah pangan, identitas, dan ingatan kolektif. Sagu, hutan, dan tanah adat bukan sebatas sumber daya, tetapi bagian dari relasi kosmologis antara manusia dan alam. Ketika sawit masuk, yang hilang bukan hanya tutupan hutan, tetapi juga cara hidup. Inilah bentuk kekerasan yang jarang diakui: kekerasan simbolik dan kultural, ketika dunia orang lain dipaksa tunduk pada logika pembangunan yang asing.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menegaskan bahwa krisis ekologis tidak bisa dipisahkan dari krisis moral. “Segala sesuatu saling terhubung,” tulisnya, dan karena itu kerusakan alam selalu berjalan beriringan dengan ketidakadilan sosial. Paus mengkiritk apa yang ia sebut sebagai paradigma teknokratis, yaitu cara pandang yang melihat alam hanya sebagai objek yang bisa dikendalikan, dieksploitasi, dan dioptimalkan tanpa batas.
Logika sawit adalah contoh nyata paradigma ini. Pohon dilihat bukan sebagai makhluk hidup dalam jejaring relasi, melainkan sebagai mesin penghasil minyak. Negara pun terjebak dalam imajinasi pembangunan yang miskin etika: seolah kesejahteraan hanya bisa dicapai lewat perluasan lahan dan eksploitasi besar-besaran.
Di titik ini, Natal seharusnya dibaca bukan hanya sebagai perayaan iman, tetapi sebagai titik politik yang sunyi namun tajam. Natal menolak logika penaklukan. Ia merayakan kehidupan yang rapuh, bukan kekuasaan yang perkasa. Ia mengingatkan bahwa yang kecil dan tersisih justru menjadi pusat makna.
Maka pertanyaan yang perlu diajukan kepada negara: pembangunan macam apa yang ingin kita bangun? Pembangunan yang menanam pohon untuk dirayakan, atau pohon untuk menghabisi kehidupan?
Pohon Natal dan pohon sawit berdiri sebagai dua simbol peradaban yang berseberangan. Yang satu mengajarkan perawatan, relasi, dan keberlanjutan. Yang lain mengajarkan ekspansi, akumulasi, dan pengorbanan yang lemah. Di antara keduanya, negara sedang memilih, dan pilihan itu akan menentukan bukan hanya arah ekonomi, tetapi juga wajah keadilan dan kemanusiaan kita. **

































