Pesparani II Papua Tengah Resmi Ditutup : Uskup Bernardus : Lagu Diciptakan Tanpa Dinyayikan Bukanlah Lagu Tetapi Puisi
Timika,papuaglobalnews.com – Pelaksanaan Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik II Papua Tengah yang berlangsung di Kabupaten Mimika selama lima hari, mulai Selasa-Sabtu, 2-6 Desember 2025 resmi ditutup. Penutupan ini berlangsung di GOR Futsal SP5 diakhiri dengan erayaan ekaristi kudus dipimpin Uskup Timika Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA didampingi 16 imam.
Hadir dalam perayaan misa Bupati Mimika Johannes Rettob, dewan juri, pengurus LP3KD Papua Tengah, enam kabupaten, peserta da undangan lainnya.
Mgr. Bernardus dalam kotbahnya berpedoman pada bacaan Kitab Suci: Yes 11: 1-10 dan Injil Mat 3; 1-12 mengemukakan nyanyian dan bernyayi adalah satu kesatuan makna, yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebuah lagu diciptakan tanpa dinyayikan, maka bukanlah lagu tetapi puisi atau pantun. Sebuah lagu harus dinyanyikan. Kata nyanyian, atau lagu dari kata Yunani oide atau aido yang artinya bernyanyi, memuji, merayakan, mengagungkan kebaikan dn kemahkuasaan Allah.
Dikatakan, dalam konteks budaya Yunani dan Yahudi, lagu dan nyayian digunakan pada perayaan keagamaan yang bermakna sakral atau kudus selain lagu-lagu profan. Karena itu, nyanyian dan lagu ini lebih dikenal dengan sebutan mazmur. Selain nyianyian mazmur-mazmur, ada pula nyanyian yang disertai dengan ratapn dan tangisan.
“Lagu-lagu, mazmur-mazmur dan ratapan dapat dikategorikan sebagai karya sastra, selain puisi, cerpen, novel, cerita rakyat, dogeng, dll. Dalam konteks Kekristinan lagu dan nyanyian dapat digunakan pada perayaan liturgi gereja sebagai ungkapan ikan. Karena itu, sulit dibedakan nyanyian-nyanyian yang bernuansa mazmur-mazmur dan nyanyian yang bernunsa rohani secara umum,” jelas yang mulia.
Ia menegaskan Pesparani II ini, sebagai momen perlombaan nyanyian dan bernyanyi.
Bahkan Uskup mengajukan pertanyaan refleksi yang patut dijawab oleh semua, khususnya para peserta Pesparani II. Mengapa bapak/ibu/sudara/i sekalian mau berlomba-lomba untuk menyanyikan nyanyian-nyanyian yang kalian ciptakan sendiri atau dicipatkan oleh orang lain? Apa tujuan yang hendak dicapai melalui iven Pesparani ini? Apakah hanya sekedar pesta semata atau sekedar hibur saja? Apakah sekedar ikut ramai saja atau gengsi-gengsian dengan kelompok lain?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang patut dijawab oleh para peserta Pesparani II ini. Yang ditampilkan oleh semua peserta Pesparani bukan hanya suara dan nyanyian yang ditampilkan tetapi juga lirik-lirik lagu-lagunya yang menyiratkan iman, kasih dan pengharapan seorang penyair dan umat seluruhnya.
Dikatakan, sebagaimana dikatakan pada bagian awal bahwa dalam konteks kebudayaan Yunani dan Yahudi, nyanyian dan bernyanyi dilagukan dalam iven keagamaan atau dalam suasana keagamaan. Demikian juga dalam konteks Kekristenan, nyanyian dan bernyanyi dalam suasana liturgi. Maka Pesparani ini bisa dikategorikan iven rohani walau tidak dalam perayaan utuh atau menyeluruh sebagai liturgi. Lagu-lagu yang dilombakan pada intinya adalah lagu-lagu berunuansa rohani – spiritual yang memuat pesan-pesan iman, kasih dan pengharapan.
Dengan demikian lanjut Mgr Bernadus, dapat dikatakan bahwa Pesparani adalah perwujudan iman, kasih dan pengharapan dalam bentuk nyanyian, yang berisi pujian pujian atas kebesaran dan kasih Allah serta beirisi permohonan dan harapan kepada Allah. Maka dapat dikategorikan sebagai doa-doa yang dinaikan kepada Allah oleh umat beriman.
“Diimplementasikan. Namun yang harus diingat dan disadari sebagaimana doa-doa yang kita panjatkan harus juga disertakan perbuatan-perbuatan dan karya-karya nyata dalam hidup kita sehri-hari. Demikian halnya dengan ISI pesan dari nyanyian dan aktivitas bernyanyi harus juga diimplementasikan dalam hidup kita sehari-hari agar kita tidak jatuh ke dalam praktek ritualisme atau seremonial belaka,” ungkapnya.
“Kita jangan terjebak hanya pada tataran ritualisme dan seremonial belaka. Kita harus menyatakan isi atau pesan-pesan dari syair lagu-lagu yang dinyanyikan dalam sikap dan perbuatan dalam hidup kita sehari-hari. Kita hendaknya menyadari bahwa antara doa verbal dan pujian melalui nyanyian – lagu hendaknya ditampakan melalui hasil karya nyata dalam hidup kita agar membawa perubahan dan kemajuan bagi kehidupan mengereja dan bermayarakat,” pesannya.

































