Perspektif Papua Tentang Kekerasan, Militerisasi dan Sumber Daya Alam
Menolak Rencana Pembukaan Pos Militer dan Hanya Akui Tapal Batas Tanah Adat
Dari sudut pandang ini, penolakan terhadap pembangunan pos Brimob, TNI, dan Polri di Kapiraya bukan semata ekspresi emosional, melainkan sebuah penegasan moral dan kemanusiaan. Warga takut bahwa pos-pos itu akan menjadi titik masuk bagi proyek-proyek yang tidak mereka ketahui, termasuk eksplorasi sumber daya alam di tanah adat mereka. Sejumlah tokoh gereja, seperti dalam laporan pastoral Gereja KINGMI dan GKI Tanah Papua, menegaskan keberatan mereka terhadap militerisasi di wilayah adat karena sering kali dan bahkan selalu membuat masyarakat kehilangan ruang dialog, ruang memproteksi eksistensi mereka dan justru sengaja dibuat hidup di bawah tekanan militer yang paling meningkat secara terstuktural dari pusat sampai kabupaten-kabupaten.
Bagi warga Kapiraya, membangun pos militer saat konflik sedang berlangsung dan dalam keadaan apa saja dari zaman ke zaman hanya akan memperkuat ketidakadilan struktural, memperluas strategi negara merebut isi hutan di Kapiraya, Papua dan menggusur warisan sumber-sumber kehidupan mereka dalam tanah adat dan sejarahnya.
Mereka percaya dan sadara secara kolektif bahwa jika pos itu berdiri, pola lama akan berulang dan itu hukumnya wajib ditegakan demi kedaulatan NKRI, memperluas surganya bagi Jakarta dan kematiannya bagi masyarakat adat di Kapiraya: tanah adat akan semakin diawasi, suara masyarakat akan dilemahkan, dan peluang penguasaan SDA oleh kekuatan eksternal akan semakin membesar.
Pengalaman ini sejalan dengan temuan banyak organisasi HAM yang mencatat bahwa operasi keamanan sering meninggalkan trauma mendalam, memperluas pengungsian masyarakat adat dari kampung halaman dan menambah daftar pelanggaran HAM berat bagi warga adat.
Karena itulah, semua masyarakat adat dari Kapiraya sampai Sorong-Merauke-Jayapura Papua sampai komunitas masyarakt internasional dan Gereja Universal menegaskan bahwa penyelesaian konflik tapal batas adat di Kapiraya tidak boleh dan jangan ada lagi dilakukan dengan menambah pos dan kekuatan bersenjata. Yang mereka butuhkan adalah hanyalah kejelasan tapal batas tanah adat, pemulihan hak ulayat, pengakuan terhadap mekanisme adat, serta memperkuat jaminan dan fungsi hukum adat dalam kebijakan negara bahwa tanah mereka tidak akan pernah berubah menjadi lokasi investasi, proyek ekstraktif dan tidak akan pernah berubah menjadi lokasi militerisme untuk mengawasi kegiatan perusahaan raksasa. Pengalaman panjang mereka mengajarkan bahwa keamanan sejati tidak pernah lahir dari senjata, tetapi dari keadilan, transparansi, dan penghormatan pada masyarakat adat sebagai pemilik sah tanah.
Pergulatan persoalan tanah adat yang lebih besar dari masyarakat di Kapiraya yang tercermin dalam tulisan objektf historis ini memperlihatkan bahwa penolakan terhadap pos militer bukanlah penolakan terhadap negara, tetapi penolakan terhadap pola historis yang terus merugikan masyarakat asli Papua. Karena masyarakat adat Papua termasuk masyarakat adat dari Kapiraya sama sekali tidak dan akan tidak pernah membutuhakn adanya rencana pemerintah untuk membukan pos militer di Kapiraya. Jika rencana ini mau paksa diwujudkan dengan dasar bangunan narasi-narasi kepentingan ekonomi dan politik pemerintah, rakyat Papua dan bersma semua orang di dunia akan tetap memahami bawah Negara Indonsia masih tetap akan memperlakukan semua orang asli Papua sebagai musuh utama negara Indonesia yang harus diberantas dari tanah leluhur mereka, dalam situasi apa saja dan dalam waktu ke waktu.
Pemerintah melalui rencana Pos Militer di Kapiraya akan membunuh habis masayarakat adat dengan kekerasan senjata. Rencana sebagus apapun dari militer itu hanyalah mengandung bibit-bi bit potensi pelanggaran HAM dan merupakan bentuk peralihan esensi masalah di Kapiraya. Jadi selama ini memang demikian fungsi senjata dan kehadiran militernya yang dimiliki negara Indonesia di tanah Papua.
Kondisi ini sekaligus memperjelas dalam ingatan penderitaan kolektif kami juga bahwa pemerintah Indonesia hanya suka, rakus dan merampas serta mencuri sumber daya dan tanah adat Papua di Kapiraya. Dari dulu sampai selamanya, masyarakat adat Papua termasuk masyarakat adat di Kapiraya hanya dan hanya meminta pengakuan resmi berdasarkan regulasi hukum yang permanen dari pemerintah pusat, provinsi Papua Tengah dan 5 kabupaten di wilayah Meepago atas tapal batas tanah adat dan semua hak-hak asasi yang berhubungan langsung dengan tanah adat, sejarah dan eksistensi hidup mereka sebagai pewaris utama dan pertama di tanah leluhur Kapiraya Kabupaten Dogiyai-Deiyai Provinsi Papua Tengah.
Kapiraya adalah satu contoh paling jelas dari banyak tempat di selurah tanah adat Papua di mana warga ingin memastikan bahwa tanah warisan leluhur tidak boleh dan jangan sekali-kali digadai, dicuri, dieksploitasi secara struktural oleh operasi keamanan yang pada akhirnya membuka ruang bagi investasi tanpa persetujuan mereka, perluasan aktivitas kekerasan bersenjata terhadap rakyat lemah dan membangun Papua baru yang tidak ditemukan lagi satu orang asli Papua di tanah leluhurnya sendiri oleh pemerintah Indonesia. ** (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

































