Perspektif Papua Tentang Kekerasan, Militerisasi dan Sumber Daya Alam
Oleh: Ernest Pugiye (Penulis adalah Guru pada SMAN 1 Dogiyai)
KAPOLRES Mimika AKBP Billyandha Hildiario Budiman bersama Forkopimda dan Pemerintah Kabupaten Mimika mengunjungi Kapiraya pada 1 Desember 2025 untuk menjaring aspirasi penyelesaian tapal batas, yang berujung pada penghabisan nyawa Pdt Neles Peuki dan berberapa warga lainnya menjadi korban luka parah. Dalam pertemuan itu, Wakil Bupati Emanuel Kemong menjelaskan bahwa proses penyelesaian akan dilanjutkan melalui pertemuan antara Pemerintah Mimika, Deiyai, Dogiyai, dan Paniai yang difasilitasi Gubernur Papua Tengah. Tokoh adat dan kepala kampung juga direncanakan ke Jakarta pada 16 Desember 2025 untuk bertemu Mendagri. Kapolres kemudian mengimbau masyarakat agar menahan diri sambil menunggu keputusan pemerintah dan menjaga situasi Kamtibmas. la juga mengumumkan rencana pembangunan pos keamanan di Bandara Kapiraya yang akan ditempati Brimob, Polsek, dan TNI, (NadiPapua.com, 3/12/2025).
Pertanyaan kenapa harus mengumumkan rencana pembangunan pos keamanan di Bandara Kapiraya yang akan ditempati Brimob, Polsek dan TNI? Padahal masyarakat adat dari Kapiraya hanya meminta pengakuan permanen dari pemerintah atas tapal batas tanah adat mereka dari pemerintah melalui regulasi yang berbasis pada hukum adat Papua.
Menyimak Ingatan Penderitaan Kolektif Rakyat
Dalam memori penderita kolektif masyarakat Papua, hubungan antara kekerasan negara, pembangunan pos-pos militer, dan perebutan sumber daya alam bukanlah teori abstrak, melainkan rangkaian pengalaman nyata yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade. Sejumlah laporan internasional dan penelitian akademik menunjukkan bahwa pola kekerasan bersenjata dan operasi keamanan hampir selalu terjadi di wilayah yang memiliki nilai ekonomi tinggi-mulai dari areal tambang, hutan, lahan kayu, hingga rencana proyek ekstraktif lainnya. Karena itu, ketika pemerintah mengumumkan rencana pembangunan pos militer di Kapiraya, banyak warga melihatnya bukan sebagai langkah pengamanan, tetapi sebagai kelanjutan dari pola lama yang sudah mereka saksikan berulang kali.
Sejak tahun 1970-an, hubungan antara aparat keamanan dan perusahaan tambang telah didokumentasikan oleh berbagai lembaga internasional. Misalnya, laporan Global Witness berjudul “Paying for Protection” (2005) mengungkap bahwa perusahaan tambang besar seperti Freeport-McMoRan memberikan pembayaran langsung kepada personel militer dan polisi Indonesia. Investigasi New York Times dan The Guardian pada awal 2000-an menambah bukti, bahwa keberadaan aparat di sekitar tambang Mimika tidak terlepas dari kebutuhan perusahaan terhadap perlindungan bersenjata. Dalam konteks masyarakat Papua, temuan ini menguatkan keyakinan bahwa aparat hadir bukan untuk rakyat, tetapi untuk perusahaan dan negara yang ingin mengamankan aset ekonomi.
Sejumlah laporan Komnas HAM, seperti penyelidikan kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003), menunjukkan bahwa operasi keamanan yang dilakukan aparat negara terjadi bersamaan dengan konflik tanah dan proyek ekonomi besar, seperti HPH dan konsesi kayu. Pola serupa juga terlihat dalam penyelidikan tragedi Paniai 2014, serta laporan Amnesty International berjudul “Don’t Bother, Just Let Him Die” (2018). Laporan-laporan itu tidak menyatakan bahwa militer menciptakan konflik demi SDA, tetapi memperlihatkan bahwa kehadiran aparat dalam konflik sering berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi dan kontrol wilayah.
Bagi masyarakat Papua, bukti-bukti itu cukup untuk membentuk keyakinan bahwa wilayah yang memiliki sumber daya alam cenderung mengalami militerisasi intensif, proaktif, sistematis dan tersturktural dari pemerintah pusat. Kondisi kekerasan ini juga didukung oleh sumber literatur akademik secara analitis dan terstruktur seperti karya Richard Chauvel dan Jim Elmslie, yang menjelaskan bahwa kehadiran negara di Papua sering berpusat pada penguasaan wilayah dan pengamanan aset strategis.
Sophie Chao, dalam penelitian etnografisnya (In the Shadow of the Palms, 2022), menunjukkan bahwa pembangunan industri ekstraktif di Merauke disertai peningkatan kehadiran aparat untuk mendampingi aktivitas perusahaan.
Oleh sebab itu, ketika konflik meletus di Kapiraya, masyarakat tidak melihatnya sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Mereka membaca konflik itu dalam rangkaian sejarah panjang, di mana adanya daftar panjang kekerasan adu-domba atas batas tanah adat dari pemerintah di antara rakyat Mee-Kamoro dan suku-suku luar di Mimika Barat Jauh sering nampak membuka pintu bagi masuknya pos keamanan baru. Dalam pandangan masyarakat, pos militer bukan hanya tempat aparat berkumpul, tetapi simbol awal dari pengambilalihan ruang hidup dan sakralitas tanah adat ke sumber-sumber konfik antara pemerintah bersama militer Indonesia dan masyarakat adat. Masyarakat adat Papua telah berkali-kali kehilangan tanah karena status tanah berubah menjadi kawasan operasi keamanan, perusahaan berskala nasional atau area pembangunan apapun yang tidak pernah mereka sepakati.

































