Oleh : Laurens Minipko

DI MIMIKA, tanah yang menyimpan emas dan luka dalam waktu bersamaan. Suara perlawanan tidak lahir dari agitasi atau provokasi. Ia lahir dari kenyataan. Bahwa orang-orang yang memberi tenaga paling nyata bagi perut tambang terbesar di negeri ini, justru dibiarkan menggantung nasibnya tanpa penyelesaiaan, tanpa keadilan, selama tujuh tahun.

Mereka disebut mokers. Para pekerja mogok PT Freeport Indonesia, yang sejak 2017 hingga kini, ditinggalkan di antara puing-puing janji korporasi dan diamnya negara. Dalam tubuh mereka, terkandung satu kalimat penting yang jarang dibaca. “Perlawanan bukan dosa, ia adalah nalar yang terluka.”

”MTQ

Moker dan Negara: Di Antara Dua Pembiaran

Mereka mogok bukan karena malas. Mereka berhenti bekerja bukan karena tidak menghargai upah. Mereka bersuara karena sistem yang menindas telah melucuti satu-satunya hal yang dimiliki kelas pekerja: “Martabat.”

Selama bertahun-tahun, negara memilih diam, sementara korporasi tetap beroperasi. Pemerintah daerah berubah kepemimpinan, DPRK berganti komposisi, tapi suara para moker tetap teredam dalam kabut birokrasi.

Kini, pada 2025, lima fraksi DPRK Mimika mendesak pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus ini. Ini bukan hanya momen politik, tapi peluang sejarah. Apakah negara akan kembali berpihak pada korporasi, atau justru mulai mendengar suara yang lahir dari luka?

Kekayaan yang Tidak Membebaskan

PT Freeport adalah simbol ambiguitas. Kemegahan industri yang dibangun di atas penderitaan yang dinormalisasi. Tanah Mimika memberi emas, tapi anak-anaknya tetap menganggur. Buruh mogok dianggap ‘masalah’, bukan ‘manusia’.

Ironisnya, justru di tengah semburan deviden dan ekspansi tambang, para moker hidup seperti sisa. Ditangguhkan, disingkirkan, dan dijadikan bayangan dalam narasi pembangunan. Ini bukan soal teknis ketenagakerjaan semata. Ini soal keadilan struktural.

Menghidupkan Nalar yang Luka

Dalam wajah Rosa Luxemburg (Filsuf Kaum Buruh), kita membaca satu kutipan. “Bukan teori yang menciptakan gerakan, tetapi gerakanlah yang membentuk teori baru.” Para moker tidak sedang menulis buku teori. Tapi keheningan mereka adalah filsafat yang menuntut tanggapan. Mereka bukan sekadar korban kebijakan atau angka statistik. Mereka adalah tubuh-tubuh yang menolak dilupakan, dan karena itulah, mereka menjadi teori yang hidup tentang bagaimana nalar yang dilukai bisa menjadi dasar perlawanan yang sah.

Rosa mengajarkan bahwa teori sejati lahir dari denyut konflik nyata. Dalam tubuh-tubuh para moker, tersimpan percikan api itu. Gerakan yang lahir dari luka, bukan dari ruang seminar. Mereka tidak menunggu validasi ilmiah, sebab mereka sendiri adalah argument yang berjalan yang menolak tunduk pada diam yang dipaksakan.

Kutipan dari Pidato DPRK

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa memberikan rekomendasi kepada Bupati dan Wakil Bupati, selaku pimpinan daerah, untuk segera memperbaiki dan memberikan atensi khusus terhadap sistem perekrutan dan pengangkatan karyawan di lingkungan perusahaan swasta maupun PT Freeport yang terkesan sangat tertutup.

Perekrutan harus sesuai dengan aturan yang berlaku, dan kami berharap prioritas diberikan kepada putra-putri daerah asli Papua, khususnya mereka yang lahir dan besar di Mimika.

Terkait sengketa kasus mogok kerja karyawan Freeport dan kontraktor yang telah terbengkalai sejak tahun 2017, kami mendorong Pemerintah Daerah, melalui Dinas Tenaga Kerja, untuk menindaklanjuti agar dapat dicapai hasil yang lebih berpihak kepada karyawan mogok. Dinas Tenaga Kerja juga diminta mengatur proses penerimaan tenaga kerja baru di area PT Freeport Indonesia, agar lebih berpihak kepada calon tenaga kerja dari tujuh suku, OAP lainnya, dan anak-anak kelahiran Mimika.

Saatnya Negara Mendengar

Jika benar lima fraksi DPRK telah bersuara, maka Pemerintah Kabupaten Mimika tidak bisa lagi sembunyi di balik prosedur. Tidak ada lagi alasan untuk menunda. Tidak ada alasan untuk melupakan karena terlalu lama. Ini waktunya menegaskan.

Mereka yang melawan bukan musuh negara. Mereka adalah anak-anak tanah ini, yang terlalu lama menahan perih dalam diam. Dan kepada negara, kita ulangi sekali lagi. Perlawanan mereka bukan dosa. Ia adalah nalar yang telah dilukai dan kini meminta keadilan. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)