Pemuda Katolik Bentuk Gugus Tugas Papua, Petakan 12 Masalah Utama dan Keluarkan Enam Rekomendasi dan Seruan Moral Nasional
Rasisme masih menjadi persoalan nyata dalam interaksi sosial baik di Papua maupun di luar Papua, ditandai oleh stigma dan stereotip negatif terhadap Orang Asli Papua yang berdampak pada terbatasnya akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan layanan publik, serta memicu konflik sosial dan membentuk trauma kolektif.
12) Korupsi dan Tata Kelola Pemerintahan yang Lemah
Praktik korupsi, mismanajemen dan tata kelola pemerintahan yang lemah dan tidak transparan menyebabkan pembangunan di Papua tidak berjalan efektif, sehingga masyarakat tetap berada dalam kondisi kemiskinan dan ketertinggalan meskipun wilayah ini menerima dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar.
Enam rekomendasi
Memperhatikan hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) Tahun 2025, serta arahan Rapimnas Pemuda Katolik Tahun 2025 yang mengusung tema “Partisipasi dan Kolaborasi Pemuda Katolik dalam Pembangunan”, dan dengan mempertimbangkan masukan dari seluruh Komda Se-Tanah Papua, maka disampaikan enam rekomendasi sebagai berikut:
Program Partisipatif dan Kolaboratif
1) Melanjutkan program edukasi, advokasi, media handling, riset dan publikasi dari periode sebelumnya, dengan fokus pada peningkatan kualitas kegiatan dan pencapaian target yang terukur.
2) Kolaborasi dengan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPPOKP) guna memberikan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan strategis percepatan pembangunan Papua, mendukung penguatan kapasitas sumber daya manusia, serta mendampingi pengembangan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua.
3) Kolaborasi dengan Kementerian HAM dan Komnas HAM untuk pelatihan, penyelidikan dan pelaporan kasus pelanggaran HAM di Papua, sehingga setiap persoalan dapat ditangani secara efektif, tepat sasaran dan sesuai prosedur hukum.
4) Membangun komunikasi intens dengan petinggi TNI/Polri, khususnya kader Katolik, sebagai jembatan efektif antara aparat dan masyarakat Papua untuk memfasilitasi pendekatan yang tepat, mencegah konflik, memperkuat kepercayaan dan mendukung dialog.
5) Kolaborasi dengan pemerintah, masyarakat adat, Gereja dan LSM untuk mempercepat pemetaan serta sertifikasi hak ulayat komunal, sekaligus mendorong regulasi yang menjamin perlindungan hak ulayat, budaya dan lingkungan secara adil dan berkelanjutan.
6) Membangun tim riset serta memperluas jejaring akademisi dan praktisi Pemuda Katolik, sekaligus menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah di Papua untuk mendukung perumusan kebijakan, regulasi dan strategi pembangunan yang responsif, kontekstual dan berbasis kebutuhan masyarakat Papua.
Enam Seruan Moral
1) Mendesak Pemerintah untuk segera membuka ruang dialog resmi antara OPM dan Pemerintah Indonesia dengan menghadirkan mediator independen, kredibel dan diterima kedua belah pihak. Model dialog damai Helsinki di Aceh dapat dijadikan rujukan bahwa konflik bersenjata hanya dapat diselesaikan melalui dialog politik yang jujur, setara dan bermartabat. Papua membutuhkan proses dialog yang sungguh-sungguh dan dijamin negara sebagai jalan menuju perdamaian permanen demi keselamatan rakyat dan masa depan Tanah Papua.
2) Mendesak pemerintah menghentikan operasi militer, penambahan pasukan baru serta menarik aparat organik dan non-organik dari wilayah-wilayah sipil di Papua. Negara harus mengutamakan pendekatan persuasif, dialogis dan humanis untuk menghentikan kekerasan yang berulang, mencegah trauma kolektif yang berkepanjangan, serta memastikan perlindungan dan keselamatan masyarakat sipil sebagai prinsip dasar penyelenggaraan keamanan.
3) Mendesak pemerintah untuk memperhatikan hak-hak para pengungsi akibat konflik bersenjata, khususnya di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat, Lanny Jaya dan Pegunungan Bintang. Hingga kini, persoalan pengungsian tersebut belum ditangani secara serius dan terencana oleh pemerintah, sehingga ribuan warga sipil hidup dalam kondisi tidak manusiawi.
4) Mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama tertunda. Undang-undang ini dibutuhkan untuk menjamin perlindungan, pemberdayaan, serta pengakuan menyeluruh terhadap hak-hak masyarakat adat. Penundaan pengesahan UU tersebut telah menimbulkan berbagai dampak negatif, termasuk kerugian sosial, ekologis, budaya, dan ekonomi akibat proyek pembangunan dan investasi yang seringkali tidak mempertimbangkan hak ulayat serta mekanisme persetujuan masyarakat adat.
5) Menolak segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang tidak berlandaskan prinsip konsultasi bebas, didahulukan, dan disetujui (FPIC) oleh masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah. Setiap rencana pemanfaatan sumber daya alam wajib menerapkan prinsip FPIC dan harus didahului oleh kajian ilmiah independen, termasuk analisis dampak lingkungan dan sosial.
6) Menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) dan berbagai investasi ekstraktif yang selama ini memicu persoalan sosial, konflik penggusuran paksa, serta kerusakan ekologis yang luas di Papua dan tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat adat. **

































