Jakarta,papuaglobalnews.com – Pengurus Pusat Pemuda Katolik melalui Departemen Gugus Tugas Papua secara resmi merilis pemetaan 12 masalah Papua, enam rekomendasi strategis dan enam seuran moral nasional yang akan menjadi dasar arah gerak organisasi. Dokumen ini disusun berdasarkan hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025, arahan Rapimnas Pemuda Katolik 2025, serta masukan dari seluruh Komisariat Daerah (Komda) se-Tanah Papua.

Departemen Gugus Tugas Papua dalam rilisnya menegaskan bahwa permasalahan Papua merupakan persoalan multidimensi, saling berkaitan, dan membutuhkan pendekatan komprehensif yang kolaboratif, adil, dan manusiawi.

  1. PEMETAAN PERMASALAHAN PAPUA

Departemen Gugus Tugas Papua mengidentifikasi sedikitnya 12 masalah utama yang dinilai sebagai akar persoalan dan hambatan pembangunan di Tanah Papua:

  1. Konflik Berkepanjangan dan Pelanggaran HAM

Konflik bersenjata yang berlangsung sejak 1960-an dinilai terus menimbulkan korban dan ketidakpercayaan mendalam terhadap negara. Dengan banyak kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap orang asli Papua yang tidak pernah diselesaikan secara adil dan transparan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan mendalam terhadap negara serta memperkuat siklus kekerasan yang sulit dihentikan.

  1. Pengungsian di Daerah Konflik

Persoalan pengungsian akibat konflik bersenjata, terutama di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat, Lanny Jaya dan Pegunungan Bintang, hingga kini belum ditangani secara serius dan terencana oleh pemerintah, sehingga ribuan masyarakat sipil hidup dalam kondisi tidak manusiawi, kehilangan hak dasar atas pendidikan, kesehatan, serta akses ekonomi yang layak, yang pada akhirnya memperparah trauma sosial.

3) Ketidakadilan Hukum dan Pelanggaran HAM

Penegakan hukum di Papua belum berjalan secara adil, ditandai dengan banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan aparat tidak diselesaikan secara tuntas, sementara masyarakat kecil kerap menerima hukuman berat, sehingga ketimpangan akses terhadap keadilan semakin memperparah rasa ketidakpercayaan dan kekecewaan masyarakat Papua terhadap negara.

4) Pengabaian Hak-Hak Masyarakat Adat

Berangkat dari slogan “Papua bukan tanah kosong”, karena seluruh wilayah Papua memiliki pemilik masyarakat adat, tidak ada sejengkal tanah yang tidak bertuan, namun dalam praktik kebijakan pembangunan dan investasi, termasuk Proyek Strategis Nasional, nasib Papua selalu ditentukan secara sepihak oleh pemerintah pusat di Jakarta tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat adat, sehingga hak ulayat sering diabaikan, proses perizinan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna, dan berbagai keputusan diambil tanpa persetujuan penuh (Free, Prior and Informed Consent) dari masyarakat adat Papua.

5) Dampak Proyek Strategis Nasional dan Industri Ekstraktif

Investasi perusahaan ekstraktif dan Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti tambang Freeport di Timika, perusahaan BIPI (Tangguh LNG) di Teluk Bintuni, Perusahaan Nikel di Raja Ampat, proyek PSN di Merauke, serta perkebunan kelapa sawit di Sorong, Boven Digoel, Keerom, Jayapura, Nabire dan berbagai wilayah lain di Papua, yang selalu menyebabkan perampasan tanah adat dan kerusakan lingkungan yang sangat parah, sehingga masyarakat adat sebagai pemilik wilayah tidak memperoleh manfaat pembangunan dan justru lebih banyak mengalami dampak negatif berupa kehilangan ruang hidup, pencemaran, degradasi hutan, serta terkikisnya identitas budaya Papua.

6) Marginalisasi dan Depopulasi Orang Asli Papua

Ketidakadilan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, dan pelayanan publik telah melahirkan marginalisasi struktural terhadap Orang Asli Papua, yang ditandai dengan menurunnya pertumbuhan penduduk OAP sementara jumlah penduduk migran meningkat pesat, sehingga memunculkan ancaman depopulasi yang berpotensi menyebabkan orang Papua kehilangan ruang hidup dan posisi strategis di tanah Papua.

7) Keterbelakangan Infrastruktur dan Konektivitas

Pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas wilayah, terutama di Papua Pegunungan, masih sangat tertinggal, yang ditandai dengan tingginya harga barang kebutuhan pokok, minimnya akses transportasi, serta ketidakmemadaian fasilitas publik, sehingga ketimpangan tersebut berdampak langsung terhadap akses pendidikan, layanan kesehatan, aktivitas ekonomi dan kualitas hidup masyarakat.

8) Layanan Dasar Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi Masih Lemah

Persoalan pendidikan, kesehatan dan ekonomi masih menjadi isu mendasar yang belum terselesaikan di Papua. Kondisi ini tercermin dari rendahnya tingkat melek huruf, terbatasnya akses layanan kesehatan, serta lemahnya kemandirian ekonomi masyarakat asli Papua yang tertinggal jauh dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

9) Keterbatasan Kewenangan dalam Kerangka Otonomi Khusus

Otonomi Khusus (Otsus) Papua kerap dianalogikan sebagai kebijakan yang “memberi ekor tetapi kepala tetap dipegang pusat”. Analogi ini menggambarkan bahwa meskipun Otsus menyediakan alokasi dana yang besar, kebijakan tersebut tidak disertai dengan pelimpahan kewenangan yang utuh kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat untuk mengatur sektor-sektor strategis, seperti pertambangan, kehutanan dan pengelolaan tanah adat. Keputusan strategis terkait pemanfaatan sumber daya alam masih harus melalui kementerian di tingkat pusat, sehingga Orang Asli Papua tidak memiliki otoritas atas wilayah dan kekayaan alam yang dimiliki.

10) Pembatasan Ruang Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Ruang demokrasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk kebebasan berekspresi, berpendapat, serta melakukan aksi demonstrasi, menyempit akibat pendekatan keamanan yang represif di Papua. Kondisi ini tidak hanya menghambat partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga memperlemah fungsi kontrol masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

11) Rasisme terhadap Orang Papua

Rasisme masih menjadi persoalan nyata dalam interaksi sosial baik di Papua maupun di luar Papua, ditandai oleh stigma dan stereotip negatif terhadap Orang Asli Papua yang berdampak pada terbatasnya akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan layanan publik, serta memicu konflik sosial dan membentuk trauma kolektif.

12) Korupsi dan Tata Kelola Pemerintahan yang Lemah

Praktik korupsi, mismanajemen dan tata kelola pemerintahan yang lemah dan tidak transparan menyebabkan pembangunan di Papua tidak berjalan efektif, sehingga masyarakat tetap berada dalam kondisi kemiskinan dan ketertinggalan meskipun wilayah ini menerima dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar.

Enam rekomendasi

Memperhatikan hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) Tahun 2025, serta arahan Rapimnas Pemuda Katolik Tahun 2025 yang mengusung tema “Partisipasi dan Kolaborasi Pemuda Katolik dalam Pembangunan”, dan dengan mempertimbangkan masukan dari seluruh Komda Se-Tanah Papua, maka disampaikan enam rekomendasi sebagai berikut:

Program Partisipatif dan Kolaboratif

1) Melanjutkan program edukasi, advokasi, media handling, riset dan publikasi dari periode sebelumnya, dengan fokus pada peningkatan kualitas kegiatan dan pencapaian target yang terukur.

2) Kolaborasi dengan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPPOKP) guna memberikan masukan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan strategis percepatan pembangunan Papua, mendukung penguatan kapasitas sumber daya manusia, serta mendampingi pengembangan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua.

3) Kolaborasi dengan Kementerian HAM dan Komnas HAM untuk pelatihan, penyelidikan dan pelaporan kasus pelanggaran HAM di Papua, sehingga setiap persoalan dapat ditangani secara efektif, tepat sasaran dan sesuai prosedur hukum.

4) Membangun komunikasi intens dengan petinggi TNI/Polri, khususnya kader Katolik, sebagai jembatan efektif antara aparat dan masyarakat Papua untuk memfasilitasi pendekatan yang tepat, mencegah konflik, memperkuat kepercayaan dan mendukung dialog.

5) Kolaborasi dengan pemerintah, masyarakat adat, Gereja dan LSM untuk mempercepat pemetaan serta sertifikasi hak ulayat komunal, sekaligus mendorong regulasi yang menjamin perlindungan hak ulayat, budaya dan lingkungan secara adil dan berkelanjutan.

6) Membangun tim riset serta memperluas jejaring akademisi dan praktisi Pemuda Katolik, sekaligus menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah di Papua untuk mendukung perumusan kebijakan, regulasi dan strategi pembangunan yang responsif, kontekstual dan berbasis kebutuhan masyarakat Papua.

Enam Seruan Moral

1) Mendesak Pemerintah untuk segera membuka ruang dialog resmi antara OPM dan Pemerintah Indonesia dengan menghadirkan mediator independen, kredibel dan diterima kedua belah pihak. Model dialog damai Helsinki di Aceh dapat dijadikan rujukan bahwa konflik bersenjata hanya dapat diselesaikan melalui dialog politik yang jujur, setara dan bermartabat. Papua membutuhkan proses dialog yang sungguh-sungguh dan dijamin negara sebagai jalan menuju perdamaian permanen demi keselamatan rakyat dan masa depan Tanah Papua.

2) Mendesak pemerintah menghentikan operasi militer, penambahan pasukan baru serta menarik aparat organik dan non-organik dari wilayah-wilayah sipil di Papua. Negara harus mengutamakan pendekatan persuasif, dialogis dan humanis untuk menghentikan kekerasan yang berulang, mencegah trauma kolektif yang berkepanjangan, serta memastikan perlindungan dan keselamatan masyarakat sipil sebagai prinsip dasar penyelenggaraan keamanan.

3) Mendesak pemerintah untuk memperhatikan hak-hak para pengungsi akibat konflik bersenjata, khususnya di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat, Lanny Jaya dan Pegunungan Bintang. Hingga kini, persoalan pengungsian tersebut belum ditangani secara serius dan terencana oleh pemerintah, sehingga ribuan warga sipil hidup dalam kondisi tidak manusiawi.

4) Mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama tertunda. Undang-undang ini dibutuhkan untuk menjamin perlindungan, pemberdayaan, serta pengakuan menyeluruh terhadap hak-hak masyarakat adat. Penundaan pengesahan UU tersebut telah menimbulkan berbagai dampak negatif, termasuk kerugian sosial, ekologis, budaya, dan ekonomi akibat proyek pembangunan dan investasi yang seringkali tidak mempertimbangkan hak ulayat serta mekanisme persetujuan masyarakat adat.

5) Menolak segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang tidak berlandaskan prinsip konsultasi bebas, didahulukan, dan disetujui (FPIC) oleh masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah. Setiap rencana pemanfaatan sumber daya alam wajib menerapkan prinsip FPIC dan harus didahului oleh kajian ilmiah independen, termasuk analisis dampak lingkungan dan sosial.

6) Menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) dan berbagai investasi ekstraktif yang selama ini memicu persoalan sosial, konflik penggusuran paksa, serta kerusakan ekologis yang luas di Papua dan tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat adat. **