Mimika Pecah, Siapa yang Diuntungkan?
Pemekaran tanpa musyawarah adat adalah pengabaian atas sejarah, hak ulayat, dan legitimasi kultural yang selama ini menopang struktur sosial Mimika. Ia menyingkirkan adat dari ruang pengambilan keputusan, seolah masyarakat adat hanyalah kerikil yang bisa dipinggirkan dari jalan pembangunan.
Konflik sosial mengintai
Sejarah Papua memberi pelajaran bahwa pemekaran sering kali diikuti ketegangan. Apakah ini akan mengulangi pola lama? Konflik wilayah adat, perebutan jabatan, sengketa akses dana Otsus, hingga pemaksaan batas administratif di atas tanah suci berisiko meretakkan kohesi sosial.
Vinsent Oniyoma benar saat menyatakan bahwa DOB bisa menciptakan konflik sosial jika prinsip partisipasi masyarakat adat dilanggar. Bukankah keadilan sejati hanya tentang pembangunan yang cepat, tetapi juga yang melibatkan dan menghormati substansi kultural setempat?
Siapa yang diuntungkan?
Mari bertanya lebih jujur. Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari pemekaran ini? Masyarakat adat, atau elite birokrat dan politisi yang melihat potensi kursi baru, APBD tambahan, dan proyek-proyek bernilai miliaran? Apakah ini demi rakyat atau demi perut kekuasaan?
Dalam kerangka David Harvey, proses ini dapat dibaca sebagai bentuk baru dari accumulation by dispossession- perampasan ruang kultural demi akumulasi politik dan ekonomi oleh segelintir elite.
Menuju Jalan tengah atau jurang baru?
Pemekaran bisa menjadi jalan menuju perubahan, tetapi harus dibangun di atas pondasi dialog yang setara. Adat bukan penghalang pembangunan. Ia adalah fondasi sosial yang menjaga keseimbangan. Jika DOB Mimika dipaksakan tanpa menghormati partisipasi masyarakat adat, maka pembangunan tidak akan membangun. Ia justru akan menggali jurang pemisah.
Kini saatnya bertanya bukan hanya soal berapa wilayah baru yang bisa dibentuk, tapi. Siapa yang didengar, siapa yang hilang, dan untuk siapa tanah ini dipecah? ** {isi tulisan tanggung jawab penulis}

































